Konsep Imamah


A.Pengertian Imamah
Imam berarti pemimpin atau orang yang di depan. Kata "imam" dalam bahasa Arab tidak menunjukkan arti kesucian hidup. Dan imam adalah orang yang punya pengikut, tak soal dengan fakta apakah dia saleh atau tidak. Al-Qur'an sendiri menggunakan kata ini dalam kedua arti itu. Di suatu tcmpat Al-Qur'an mengatakan:
 
Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah, (QS. al-Anbiyâ': 73)
Di tempat lain dikatakan:
 dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong. (QS. al-Qashash: 41)
Mengenai Fir'aun, Al-Qur'an menggunakan frase yang mengandung arti yang sama dengan arti imam atau pemimpin. Dikatakan:
Dengan demikian, secara harfiah arti imam adalah pemimpin. Namun sekarang perhatian kami bukan pada pemimpin yang dzalim. Kata "imamah" berlaku untuk beberapa kasus. Beberapa konsep imamah diakui oleh kaum Sunni juga. Namun mereka berbeda dengan Syi’ah mengenai siapa imam itu dan bagaimana kualitasnya. Mereka sama sekali tidak mempercayai konsep-konsep imamah tertentu. Mereka tidak mempercayai imamah dalam arti seperti yang kaum Syi’ah percayai. Mereka tidak sepakat dengan orang yang mengemban jabatan ini. Imamah versi mereka tak lain adalah pemimpin sosial, dan dalam arti seperti inilah kata ini digunakah dalam buku-buku teolog akademis lama.
Imamah mencakup sumber pengambilan pemikiran, kekuasaan politik, dan kepemimpinan agama. Terkadang pemaknaan imamah hanya sebatas kepemimpinan suatu masyarakat yang terbatas, atau politik dalam skala tertentu. Adapun imamah yang dimaksud dalam hak ini adalah “imam” dengan kedudukannya yang tinggi yang ia memuat dimensi ketuhanan.[1] Kepemimpinan yang meneruskan risalah Nabi saw, yaitu sebuah kepemimpinan yang membawa misi hidayah kepada umat manusia, yang meliputi kehidupan duniawi dan akidah-akidah keagamaan mereka serta merupakan jalan menuju kesempurnaan yang dimulai oleh Nabi saw.
Secara doktrinitas[2] Syi’ah yang paling esensial adalah Imamah. Konsep kepemimpinan ini ternyata dalam prakteknya bertingkat-tingkat tergantung internalisasi. Pada pengertian syi’ah imamah di jadikan doktrin primer dalam teologi dan idiologi.[3]
Secara praktis, dalam perspektif Syiah, imam yang maksum tidak hanya berarti pemimpin dalam peraturan atau perundang-undangan Islam, melainkan juga meliputi kepemimpinan dalam aspek rohaniyah dan jasmaniyah. Dengan kata lain, mereka bertanggung jawab atas pemeliharaan dan penjagaan keimanan dan aqidah Islam yang sunyi dari kekeliruan atau penyimpangan. Jadi kedudukan imamah sama halnya seperti kenabian , hanya saja seorang imam tidak mendapatkan wahyu. [4]Berdasarkan ini pula, merupakan suatu keharusan adanya seorang individu yang layak memegang jabatan imamah, alim, dan terpelihara dari segala kesalahan (maksum) agar dia dapat menjadi teladan bagi umatnya.
Tetapi kaum Sunni tidak melihat imamah secara demikian. Mereka hanya memahami imamah sebagai pemimpin sosial sebagaimana pemimpin sebuah negara. Mereka menganggap definisi imamah sebatas jabatan kekhalifahan saja. Seorang khalifah bertanggung jawab untuk memecahkan masalah sosial dan keagamaan kaum Muslim. Sebagaimana ia bertanggung jawab dalam hal menciptakan kestabilan dan keamanan umum melalui kekuatan militer dan penjagaan perbatasan kedaulatan Islam. Oleh sebab itu, Seorang imam dengan kata lain seorang khalifah dalam pandangan sunni hanyalah seorang pemimpin dalam bingkai sosiologis.
B.        Pentingnya Mengetahui Imamah
Pandangan Syi’ah mengatakan bahwa kekhalifahan tidak dapat dipisahkan dengan imamah, Sebab, tidak mungkin memisahkan antara kepemimpinan nabi saw dengan kenabiannya. Sebab, agama Islam ini adalah agama politik dan maknawi (spirit), yang keduanya tak bisa dipisahkan. Sebagaimana dimensi ruhani bagi Islam adalah bagian yang tak dapat terpisahkan dari dimensi politiknya.
Sesungguhnya Allah SWT telah memenuhi setiap kebutuhan yang diperlukan dalam perkembangan manusia dalam beragam aspeknya, baik ruhani maupun jasmani, maka bagaimana mungkin Dia tidak memberikan kebutuhan fitrah publik yang sangat vital ini (imamah)?
  
Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu, karena jika tidak, kamu berarti tidak menyampaikan risalah-Nya. (QS. al-Mâ`idah: 67)
Nada ayat ini sama seriusnya dengan nada hadis, "Barangsiapa mati dalam keadaan tidak mengenal Imam zamannya, maka matinya mati jahiliah." Singkatnya dapat dikatakan bahwa ayat itu sendiri menunjukkan bahwa pokok masalahnya begitu penting sehingga kalau Nabi tidak menyampaikannya, berarti Nabi sama sekali tidak menyampaikan risalah Allah.
Syi’ah dan Sunni sepakat bahwa Surah al-Mâ`idah adalah Surah terakhir yang diturunkan kepada Nabi saw, dan ayat ini merupakan satu dari ayat-ayat terakhir Surah ini. Dengan kata lain, turun ketika Nabi sudah menyampaikan semua hukum dan ajaran lain Islam selama 13 tahun di Mekah dan 10 tahun di Madinah sebagai Nabi saw. Ayat ini termasuk petunjuk, perintah atau ajaran terakhir Islam. Kini kaum Syiah bertanya petunjuk, ajaran atau perintah seperti apa yang begitu penting sehingga kalau tidak disampaikan, maka seluruh yang dikerjakan Nabi di masa sebelumnya jadi batal. Anda tak mungkin dapat menunjukkan pokok masalah apa pun yang berkaitan dengan tahun-tahun terakhir hayat Nabi saw yang begitu penting. Namun kami katakan bahwa masalah imamah begitu penting sehingga kalau imamah hilang, maka tak ada lagi yang tersisa. Tanpa imamah, seluruh bangunan Islam akan hancur lebur. Kaum Syiah mengutip riwayat-riwayat dan hadis-hadis Sunni itu sendiri untuk memperkuat klaim mereka bahwa ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa Ghadir Khum.[5]
Dalam Surah al-Mâ`idah itu sendiri ada ayat lain yang bunyinya, 
Hari ini Aku sempurnakan agamamu bagimu, lengkapkan karunia-Ku kepadamu, dan Aku pilih Islam sebagai agamamu. (QS. al-Mâ`idah: 3)
Ayat ini menunjukkan bahwa pada hari itu terjadi sesuatu, yang begitu penting sehingga agama jadi sempurna, karunia Allah kepada umat manusia jadi lengkap, dan tanpa itu Islam tak mungkin seperti yang dikehendaki oleh Allah SWT. Kaum Syiah berargumen bahwa nada ayat ini menunjukkan bahwa sesuatu yang berkenaan dengan ayat ini begitu penting sehingga eksistensi Islam sebagai agama yang benar itu sendiri bergantung pada sesuatu itu. Sekarang pertanyaannya adalah seperti apa sesuatu itu. Kaum Syiah meyakini sesuatu itu adalah (imamah).
Sehingga dalam doktrin Imamah ini melekat konsep ‘Ismah (keterjagaan dari perbuatan dosa)[6]. Maka segala ucapan dan perbuatan para Imam adalah dalil qoth’i yang tak lain merupakan otoritas para imam-imam yang ma’sumin (terjaga dari perbuatan dosa). Suryadilaga menyebut mereka memiliki jabatan ilahiyah yang berhak menggantikan kedudukan Nabi dalam masalah keduniaan maupun keagamaan.[7]
Konsep elaborasi hadis para Imam sebagai sumber hukum mutlak sama seperti hadis Nabi SAW seiring dengan teori kemakshuman yang di yakini. Prespektif Syi’ah manusia biasa bias saja memilih orang yang salah dalam musyawarah untuk kedudukan imamah yang bertentangan dengan tujuan wahyu illahi. Hanya Allah SWT –lah yang bias mengenali individu-individu yang memiliki sifat-sifat berilmu, tak bercacat, dan tak mungkin keliru (‘Ismah).[8]


C.        Beberapa Bukti Aqliy dan Naqliy tentang Imamah
Sesungguhnya manusia bertolak dari fitrahnya yang lurus untuk senantiasa mencari kesempurnaan yang merupakan tujuan akhir penciptaan.
Akan tetapi, jalan kesempurnaan yang berusaha dilalui oleh manusia ini seringkali dihalangi oleh berbagai rintangan dan bahaya. Sehingga, untuk menemukan jalan kesempurnaan itu tanpa bimbingan orang lain adalah suatu perkara yang mustahil diraih.
Mata, misalnya, adalah anggota tubuh yang dengannya jika kita dapat melihat apa yang ada yang di sekitar kit, seperti keindahan. Allah telah menjaga mata kita ini dari debu-debu dengan memberi bulu mata dan melindunginya dari keringat dengan memberi alis. Ini hanya sedikit nikmat Allah swt yang berlimpah, yang semuanya menyuarakat hakikat  kemurahan dan kebijaksanaan Allah.[9]
Untuk itu, maka merupakan suatu keharusan akan adanya suatu jalan yang menjamin terealisasinya tujuan kesempurnaan ini.
Pada zaman nabi ,persoalan ini akan dapat terpecahkan, hanya saja tantangan akan terus berlangsung meski sepeninggal Nabi saw. Sebab, masalah ini tidak hanya terbatas era tertentu. Oleh karena itu, keberadaan seorang yang sempurna yang menjadi petunjuk dalam perjalanan manusia adalah sebuah keharusan.
Sangatlah mustahil bahwasannya Allah swt menentukan tujuan akhir penciptaan berupa kesempurnaan ideal, tetapi kemusia Dia tidak menjadikan hal itu terpancar dalam diri seseorang yang menjadi petunjuk dan pembimbing untuk memungkinkan terjadinya tujuan itu.
             Beberapa Ayat al-Quran dan Hadist Seputar Imamah
                        *   
. Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku"[88]. Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim".(QS al-Baqarah 124)
Sesungguhnya imamah adalah jaji Tuhan yang dianugerahkan kepada hambaNya yang dikehendakiNya yang mana tidak ada campur tangan manusia. Jadi, imamah adalah pilihan Tuhan, bukan pilihan manusia. Pengangkatan seorang imam ini demi kepentingan manusa, yakni bahwasannya umat membutuhkan seorang imam
Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka rukuk.(Qs al-Maidah 55)
Pada ayat diatas, terdapat pembatasan makna pada kata innama (sesungguhnya ) al-wilayah (kepemimpinan) hanya bagi Allah, RasulNya, dan orang-orang yang beriman yang menunaikan zakat, sedangkan ia dalam keadaan ruku’. Adapun yang dimaksud pada kategori ketiga ini adalah Ali bin Abi Thalib yang diriwiyatkan pernah melakukan hal itu.
 Diriwayatkan ketika Nabi hendak maju di medan pertempuran Tabuk di utara Jazirah Arabia yang merupakan perbataan dengan wilayah Kekaisaran Romawi, Beliau meninggalkan Ali bin Abi Thalib sebagi pengganti beliau di Madinah. Mereka melaporkan kepada Nabi saw bahwa kaisar Romawi telah mengirim sebuah pasukan besar untuk menyerang Hijaz dan Mekkah serta Madinah. Kemudian Ali bertanya,[10] “Apakah engkau meninggalkan saya bersama kaum wanita dan anak-anak, dan tidak mengizinkan saya ke medan jihad dan mencari kehormatan di sana?”
Nabi pun menjawabnya,”Apakah engkau tidak puas bahwa engkau bagiku sebagaimana Harun disisi Musa , kecuali bahwa tak ada nabi setelahku?”
Ini telah tercatat dalam bnyak kitab-kitab hadis yang terkenal seperti, Sunan ibn Majah, Sunan Tirmidzi, Musnad Ahmad bin Hanbal. Para sahabat yang telah meriwayatkannya lebih dari dua puluh orang termasuk Jabir ibn Abdullah al-Anshori, Abu Said al-Khudri, Abdullah bin Masud, dan Muawiyah
Abu Bakar al-Baghdadi dalam tarikh balaghah meriwayatkan dari Umar bin Khattab sebagai berikut,Ia melihat seseorang berbicara secara tak pantas kepada Ali. Umar berkata, “Saya berpikir engkau seorang munafik karena saya telah mendengar bahwa Nabi berkata, “Ali disisiku sebagaimana Harun disisi Musa, Selain bahwa setelahku tak aka ada Nabi”.
Terdapat sebuah peristiwa besar pasca pelaksanaan haji wada’ di lembah yang dikenal dengan Ghadir Khum, yakni ketika Nabi Saw mengumumkan di hadapan jamah haji yang sangat besar bahwasannya Ali adalah pemimpin kaum Muslim sepeninggal beliau.
Diriwayatkan, bahwa setelah Nabi menyampaikan beberapa khotbahnya, kemudian beliau memanggil Ali bin Abi thalib, lalu beliau memegang tangannya seraya mengangkatnya agar beliau dapat memperkenalkannya kepada orang banyak. Nabi bersabda,”barang siapa yang menganggap aku sebagai maulanya (pemimpinnya),maka ini Ali adalah maulanya juga. Ya Allah, tolonglah orang yang menolongnya, musuhilah orang yang memusuhinya, bantulah orang yang membantunya, telantarkanlah orang yang menelantarkannya, dan jadikanlah kebenaran itu selalu bersamanya dimana saja dia berada.”[11]   
Kemudian sebelum para kafilah haji berpencar dalam perjalan pulang kenegrinya masing-masing, turunlah firman Allah sebagaimana tertuang dalam surah al-Maidah ayat 3.


[1] Sayyid Mujtaba Musawa al-Lari, Teologi Islam Syiah, (Jakarta: Al-Huda 2004) 238
[2] Menurut KBBI, Doktrin diartikan ajaran (asas-asas aliran politik, leagamaan; pendirian     segolongan ahli pilmu pengetahuan, keagamaan, kettatanegaraan.).
[3] Muhammad Baharun, Dari Imamah sampai Mut’ah (,Malang Pustaka Bayan 2008) hal.39
[4] Nashir Makarim Syirazi,  Belajar Mudah, (Jakarta: Lentera 2000) 167
[5] Http//jali.blogspot.com
[6]  Muhammad Baharun, Dari Imamah,opcit  hal.37
[7]  M. Fatih Suryadilaga. Studi-studi hadist, Dalam “kitab Al-kafi al-Kulaini, (Yogyakarta: Teras, 2003), h 304.
[8] Murthadha Mutahhari,Imamah dan Khilafah,(Jakata,Firdausi,1990),59.buku terjemahan dari bab Imamate and Khilafat dalam “Man and Universse”(Karachi,Pakistan:ISP, 1990)
[9] Sayyid Mujtaba, teologi, op cit 246
[10]Nashir, Belajar Mudah, opcit, 196
[11] Shahih ath-Tirmidzi, 2/297, mustadrak al-Hakim; 1092, dan asbabul nuzul; 150

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Konsep Imamah"

Post a Comment