ULAMA NUSANTARA KH.DR. IDHAM KHALID

KH. DR. IDHAM KHALID (1921-2010)
    Salah seorang ulama intelek, sekaligus tokoh jami’yah tharikah Mu’tabarah An-Nahdliyah, tokoh utama dan pemimpin Nahdlatul Ulama, yang hamper tiga dasawarsa sebagai ketua umumnya, dan seorang politisi serta tokoh pemerintahaan yang mampu bertahan dari satu decade ke decade berikutnya, lebih dari tiga dasawarsa, baik di eksekutif maupun di legislatif.
Dilahirkan tanggal 5 Januari 1921 di Desa Setui, Amuntai, Kecamatan Kota Baru, Bagian Tenggara, Kalimantan Selatan (menurut catatan pribadinya Ia dilahirkan tanggal 27 Agustus 1922. Ia putra sulung dari lima besaudara putra H. Muhammad Khalid penghulu asal Amuntai yang bertugas di Kota Baru, ketika usianya 6 tahun ayahnya pindah ke Amuntai Hulu sungai utara (HSU).
Ia memasuki normal islam Amuntai, Lembaga pendidikan yang dipimpin Haji Abdur Rasyid yang berasal dari Arabische School. Lembaga pendidikan inilah yang sebagai cikal perguruan Khalidiyah Rasyidiyah, yang terkenal di Amuntai sampai sekarang.
Menginjak usia dewasa Ia menyebrang lautan dan belajar di KMI ( Kulliyatul Mu’alimin al-Islamiyah) Gontor Ponorogo, yang dikenal pula dengan Pondok Modern Gontor. Di pesantren in Idham Khalid di asuh oleh Trio (Trimurti ) ualam: KH. Ahmad Sahal, KH. Zainuddin Fanani, dan KH. Imam Zarkasyi. Di pesantren ini Ia disamping belajar juga membantu mengajar. Hubungan KH. Idham Khalid dengan keluarga pesantren KMI Gontor bisa dikatak dekat, terbukti ulama asal Amuntai ini pernah menjabat sebagai ketua umum badan wakaf pondok Modern Gontor.

Setelah kembali ke Amuntai akhir masa penjajahan Jepang, KH. Idham Khalid kembali berkiprah dalam bidang pendidikan. Ia kembali membenahi Normal Islam Amuntai, kemudian mendirikan Organisasi IMI ( Ikatan Madrasah-Madrasah Islam ) Amuntai tahun 1945. Pengurus IMI terdiri dewan Syuro (pengendali) yang di ketuai H. Zuhri dan Majlis Luhur ( pelaksana ) yang diketuai oleh KH. Idham Khalid sendiri.  Semua madrasah yang ada  di Amuntai bergabung dalam IMI, demikian pula di wilayah sekitarnya.
Pada masa perang kemerdekaan, KH. Idham Khalid masuk dalam BKR ( Barisan Keamanan Rakyat ), kemudian menjadi anggota SKI ( Serikat Kerakyatan Indonesia ) dibawah kepemimpinan Gusti Anwar (Desember 1947). Beranjak dari SKI itulah ia menjadi anggota DPR pada Masa RIS (1949-1950) dan sejak itulah Ia tinggal di Jakarta, hingga akhir abad 20 ini. Sejak itu pual karirnya terus menanjak, baik dalam organisasi maupun pemerintahan. Kesemuanya menunjukan bahwa Ia seorang kader yang ulet dan gemar belajar mandiri ( otodidak ); terbukti Ia menguasai beberapa bahasa asing, baik secara aktif (Arab, Inggris, Jepang, Belanda ) maupun secara pasif ( Jerman, Prancis )
KH. Idham Khalid semakin menanjak setelah ia menjadi sekretaris pribadi mentri Agama KH. Wahid Hasyim. Hubungan antara KH. Wahid Hasyim dengan pemuda asal Kalimantan ini, sebenarnya telah dimulai sejak Zaman Jepang, dimana Idham Khalid sebagai juru Bahasa antara pejabat Jepang yang mengadakan pertemuan dengan para kiyai. Hubungan yang akrab dengan KH. Wahid Hasyim yang tokoh muda NU ini, Semakin mendekatkan Idham Khalid kepada NU dan bisa dikatakan bahwa  ulama muda asal Kalimantan ini dikaderkan oleh KH. Wahid Hasyim sebagai tokoh NU dimasa mendatang. Terbukti ketika KH. Wahid Hasyim diangkat sebagai ketua Umum PBNU (1950), KH Idham Kalid diangkat sebagai ketua Ma’arif NU (Pendidikan), yang sebelumnya dipegang oleh KH. Wahid Hasyim sendiri. Lembaga inilah yang kemudian dikenal dengan lembaga pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama.
Selanjutnya KH. Idham Khalid terpilih sebagai salah seorang pengurus pucuk pimpinan Gerakan Pemuda Anshor, dibawak ketua umumnya KH. Ahmad Hamid Wijaya, kemudian sebagai sekretaris umum PBNU (1952-1956). Dalam Muktamar NU ke 21 di Medan (Desember 1956) KH. Idham Khalid terpilih sebagai ketua Umum PBNU dan Rois Aam Syuriah (Dewan Kiyai) PBNU tetap dijabat oleh KH. Wahab Hasbullah. Duet antara KH. Wahab Hasbullah ( Rois Aam ) dengan KH. Idham Khalid ( Ketua Umum Tanfidzyiah ), bertahan sampai beberapa kali Muktamar hingga KH. Wahab Hasbullah wafat (27 Desember 1971), yang disambung duet antara pengganti KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri ( Rois Aam) dengan KH. Idham Khalid (ketua Umum), terus berlangsung hingga KH. Bisyri Syansuri wafat (25 April 1980) dan digantikan KH. Ali Maksum.
Tampak sekali kehebatan KH. Idham Khalid sejak berkecimpung dalam lingkungan NU, hingga terpilih sebagai ketua Umum PBNU dan masa selanjutnya. Bayangkan seorang ulama muda umur 35 tahun, orang dari luar Jawa, bukan keturunan dari keluarga para pendiri NU yang mayoritas Jawa, ternyata terpilih dan dipercaya memimpin NU yang anggotanya Jutaan orang dan bertahan sampai beberapa kali muktamar, bahkan hampir 30 tahun; walaupun goyangan tetap ada dari kader-kader lain yang siap menggantikan, seperti KH. Ahmad Syaikhu dan H. Muhammad Subhan ZE. Walaupun dari suku Banjar, tetapi mampu beradaptasi dan ngeladeni (memberikan servis dengan baik) kepada ulama-ulama, khususnya Rais Aam yang berasal dari tradisi Jawa.
Gerak langkah NU sejak 1956 tidak terlepas dari peran penting KH. Idham Khalid, bahkan sebelumnya sewaktu persiapan pelaksanaan pemilu 1955 Ia menunjukan kemampuan untuk menghadapi partai-partai lain. Dan NU keluar sebagai kekuatan ketiga setelah PNI dan Masyumi, walaupun baru 3 tahun menjadi partai politik. Demikian pula pada masa orde lama, KH. Idham Khalid mampu memainkan perannya dan berhasil menyelamatkan NU. Pada saat itu partai Islam Masyumi telah dibubarkan Presiden Soekarno (17 Agustus 1960) karena sebagian tokohnya terlibat dalam PRRI. Hanya partai NU satu-satunya partai Islam terbesar (PSII dan PERTI termasuk partai kecil). Yang harus berhadapan dengan PKI langsung dalam tubuh NASAKOM ( Nasional-Agama-Komunis), sedangkan kekuatan kelompok nasional, khusunya PNI tidak bisa diharapkan lagi, karena sudah loyo, apalagi setelah masuknya kader PKI, Ir. Surahman, dalam tubuh PNI dan menjadi sekjen partai itu, dengan ketua umumnya Ali Sastro Amijoyo, SH (Kongres Purwokerto). Untunglah muncul kekuatan baru  yang ikut serta menghadapi PKI, yaitu Angkatan Darat (AD). Dengan timbulnya pemberontakan G.30 S/PKI, maka yang banyak berkiprah untuk memberantas dan menumpas PKI beserta Underbouwnya adalah NU dan Underbaownya dibawah kepemimpinan KH. Idham Khalid, tentu saja bersama-sama ABRI khususnya Angkatan Darat.
Kepemimpinan Kh. Idham Khalid berlanjut ketika terjadi fusi partai (1973), dimana emapat partai saat itu (NU, Permusi, PSII, Perti), Fusi menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), 5 Januari 1973, dimana KH. Idham Khalid sebagai presiden partainya dengan tetap merangkap sebagai ketua PBNU. Jabatan ini di pegangnya hingga Muktamar PPP tahun 1984. Dimana kekuatan NU digusur oleh DR. J. Naro (MI, Parmusi) dengan bantuan pemerintah, jabatan presiden dihilangkan dan ketua umum langsung dipegang oleh DR. J. Naro dengan sekjennya Mardiansyah juga dari MI.
Kedudukan Kh. Idham Khalid mulai goyah setelah KH. Bisri Syansuri wafat, dan sebagai gantinya bukanlah Prof. KH. Anwar Musadad (wakil Rais Aam), tetapi KH. Ali Maksum, dikarnakan pada saat itu KH. Anwar Musadad tidak mengasuh pondok pesantren ( walaupun namanya tidak asing lagi dan lama jadi Rektor IAIN ), sesuai tradisi NU. Dengan adanya ulah DR. J. Naro dalam pemilu 1982, banyak tokoh NU yang kuat, digusurnya jauh ke nomor pencalonan DPR, sehingga tidak jadi (sehingga yang lemah dan kolusi dengan Naro malah jadi), maka timbulah keretakan dalam tubuh NU.KH. DR. Idham Khalid didatangi beberapa ulama NU dan diminta menandatangani surat pengunduran diri dari ketua umum PBNU (1 Mei 1982, tetapi di tanggali 6 Mei 1982). Tetapi beberapa hari kemudian dengan desakan anak buahnya KH. Idham Khalid mencabut lagi keputusan mengundurkan diri itu. Jadilah kemulut NU tentang keabsahan keputusan pengunduran diri dan pencabutannya; maka timbulah dua kubu dalam NU, yakni kubu cipete (KH. Idham Khalid, KH. Anwar Musadad, dan lain-lainnya) dan kubu Situbondo (KH. As’ad, KH. Ali Maksum, KH. Mahrus, KH. Ahmad Shidiq, dan Lain-lain). Sebenarnya sutradaranya politik NU yang tidak puas dalam pencalonan 1982, menganggap KH. Idham Khalid banci dalam menghadapi DR. J. Naro, yang didukung pemerintah Soeharto. Sementara NU pecah menjadi dua kubu, Naro malah senang dan menggalang kekuatan, sehingga ia berhasil menyingkirkan tokoh-tokoh NU baik dari kubu cipete maupun kubu Situbondo dan dia kelua sebagai pemenang. Sementara itu NU menggelar Muktamar NU ke 27 di Situbindo (8-12 Desember 1984) empat bulan setelah muktamar PPP, yang dimenangkan DR. J. Naro dan Kawan-kawan, akhirnya NU memutuskan diri untuk kembali kegaris perjuangan semula sebagai organisasi sosial keagamaan dan kemasyarakataan ( jamiyah Diniyah Ijtimaiyah ). Dalam Muktamat tersebut KH. Ahmad Shidiq terpilih sebagai Rois Aam Syuriah dan H. Abdurahman Wahid sebagai ketua umum Tanfidziyah. Sedangkan KH. Idham Khalid yang sudah lama memegang NU dimasukan menjadi jajaran Musytasar (Penasehat).
Sebagai seorang tokoh partai yang cukup besar, tentu saja KH. Idham Khalid mempunyai pengaruh yang lumayan besar dalam pemerintahan, Ia termasuk pejabat pemerintahan yang paling lama bertahan, baikm dilingkungan eksekutif maupun legislatif, baik semasa pemerintahan Presiden soekarno maupun Soeharto. Diantar jabatan yang peranah dipegang berturut-turut : Anggota DPR peralihan (1950-1955), wakil perdana menteri kabinet Ali-Idham (1956-1957), waperdam kabinet Juanda/kabinet Karya (1957-1959), Wakil Ketua MPRS (1960-1962), Menteri/ Wakil Ketua MPRS pada kabinet Kerja III dan kabinet Dwikora I-II (1962-1966), Menkokesra kabinet Ampera, Kabinet Ampera yang disempurnakan dan kabinet Pembangunan I (1966-1973), Ketua DPR/MPR (1973-1978), dan Ketua DPA (1978-1983). Disamping itu Ia juga pernah menjabat ketua lembaga keluarga berencana nasional, sewaktu menjadi Menkokesra (1969), juga anggota P-7 (Penasehat Presiden  dalam Pelaksanaan P4).
KH. Idham Khalid tidak saja dikenal dikalangan tokoh Islam skala Regional ataupun Nasional, tetapi juga dikalangan tokoh islam internasional. Ia berhasil mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al- Azhar, Kairo Mesir (1959), yang menunjukan adanya pangakuan dari Al- Azhar kepada Ulama ini. Disamping itu Ia berhasil menjadi sutradara diselenggarakanya Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) pertama di Bandung tahun 1965, yang berhasil membentuk organisasi Islam Asia Afrika, yang berkembang kemudian menjadi OII ( Organisasi Islam Internasional ), walaupun jalannya kurang bisa efektif.
Setelah tidaj aktif dalam dunia plitik dan pemerintahaan dan sudah tidak menjadi ketua umum PBNU, KH Idham Khalid ldbih banyak menekuni bidang pendidikan yang telah lama dirintisnya, perguruan Darul Ma’arif di Cipete, Jakarta Selatan. Perguruan ini meliputi pondok pesantren dan dilengkapi dengan pendidikan kurikuler mulai tingkat dasar hingga tingkat atas, disamping itu KH. Idham Khalid yang sebagai pengamal Thariqoh Naqsabandiyah Khalidiyah, diangkat sebagai Mudir Aam ( Ketua Umum ) Jamiyah Thariqah mu’tabarah An- Nahdliyah; sebuah lembaga yang menangani masalah Thariqah ( tarekat ) dilingkungan Nahdlatu Ulama.
Setelah menderita sakit cukup lama, KH. Idham Khalid wafat pada hari Minggu, 11 Juli 2010 pukul 08.00 dikediamannya dikompleks perguruan Darul Ma’`rif Cipete setelah di sholati di Masjid Darutaqwa dekat rumahnya......
Ulam dan sejarawan ini juga pernah menulis beberapa karya diantaranya berjudul : Bertamasya................. (fikri,1949.......), Parlemen, Organisasinya, dan cara kerjanya (1951), Islam dan demokrasi terpimpin (1965), dan Mendayung dalam Taufan ( kumpulan pidato sebagai ketua Umum PBNU, 1966 ).

Referensi:
•    Ensiklopedia Islam II, Ikhtiar baru- , Jakarta, 1999
•    Muhammad Yunus, sejarah pendidikan islam, Hidayah, jakarta 1985
•    Mastuki dan Ishom el saha......., Diva pustaka Jakarta, 2003
•    Saifuddin Zuhri, berangkat dari pesantren, gunung agung, jakarta, 1987.
•    Soelaiman fadeli dan Subhan, Antologi I, Khalista, Surabaya
•    Alkisah no15/th.VIII/26 Juli-8 Agustus 2010
•    Risalah NU no.18/th III/1341 H/2010
•    Aula no.08/XXXIII/agustus 2010
•    Alkisah no.01/th VI/31 Desember 2007-13 januari-2008.
    
   
   

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "ULAMA NUSANTARA KH.DR. IDHAM KHALID"

Post a Comment