Konsep Universalitas dalam Islam
Berbicara tentang islam alangkah
seyogiyanya kita perlu kaji dulu tentang agama karna islam adalah sebuah agama,
dan membicarakan agama memerlukan suatu sikap ekstra hati-hati. Sekalipun agama
merupakan persoalan sosial, penghayatannya amat sangat bersifat individual.[1]
Kita dapat menghindari untuk terlebih
dahulu mengenal definisi agama. Disebabkan pemahamaan dan penghayataan
individual tersebut, maka terdapat pula bermacam-macam definisi. Prof. Wallace
mengatakan bahwa agama ialah suatu kepercayaan tantang makna terakhir alam
raya. E. S. P. Haynes berpendapat bahwa agama ialah suatu teori tentang
hubungan manusia dengan alam raya. Bagi John Morley, agama adalah perasaan kita
tantang kekeuatan-kekuatan tertinggi yang menguasai nasib umat manusia.[2]
Universal dalam istilah globalnya memiliki
arti meliputi apa yang ada di dalamnya. Secara aplikatif memiliki makna
memiliki sensitivity (kepekaan) terhadap tuntutan zaman. Jadi, jika
dikaitkan dengan Islam, maka dapat dikatakan bahwa Islam yang universal adalah Islam
yang memiliki kepekaan akan tuntutan zaman dan denyut dinamika
social-kemasyarakatan atau mengandung unsur-unsur Rahmatan lil Alamin dalam
ajaran-ajarannya.
Universalisme Islam menampakkan diri dalam
berbagai manifestasi penting dan yang terbaik adalah ajaran-ajarannya itu
sendiri, Rangkaian ajaran yang meliputi berbagai bidang, seperti hukum agama
(fiqh), keimanan (tauhid) , etika (akhlak) dan sikap hidup. Prinsip-prinsip
seperti persamaan derajat di muka hukum, perlindungan warga masyarakat dari kezaliman
dan kesewenang-wenangan, penjagaan hak-hak mereka yang lemah dan menderita
kekurangan dan pembatasan atas wewenang para pemegang kekuasaan, semuanya jelas
menunjukkan kepedulian di atas. Sementara itu, universalitas yang tercermin
dalam ajaran-ajaran yang memiliki kepedulian pada aspek-aspek utama kemanusiaan
itu diimbangi pula oleh kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban Islam
sendiri. Keterbukaan yang menyerap segala manifestasi cultural dan wawasan
keilmuan yang selalu datang dari tiap-tiap peradaban yang tengah berlangsung.
Kearifan yang timbul dari proses saling mempengaruhi antara peradaban-peradaban
yang dikenal itu, saat itu, di kawasan “Dunia Islam” yang mengangkat peradaban
Islam ke strata yang sangat tinggi, hingga menjadi apa yang disebutkan
sejarawan semacam Arnold J. Toynbee Sebagai oikumene (Peradilan dunia) Islam.[3]
Oikumene Islam itulah yang paling tepat untuk disebut sebagai kosmopolitanisme
peradaban Islam.
Seperti halnya di atas Dr. M. Quraish
Shihab mengatakan bahwa universalisme Islam atau keberlakuan ajaran Islam untuk
semua orang dan untuk seluruh dunia, merupakan suatu ajaran yang diterima oleh
seluruh umat islam sebagai aqidah. Argumentasi-argumentasi keagamaan yang
berkaitan dengan hal tersebut cukup banyak dan saling berkaitan, boleh jadi
juga berbeda-beda, namun pada akhirnya semua bertemu pada natijah yang di sebut
di atas.[4]
Berkenaan dengan universalitas Islam bahwa
terdapat lima garansi dasar yang akan diterima oleh tiap-tiap umat manusia,
antara lain; keselamatan fisik warga masyarakat
dari tindakan badani diluar ketentuan hukum, keselamatan keyakinan agama
masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama, keselamatan keluarga
dan keturunan, keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur
hukum, dan keselamatan profesi.
Garansi
akan keselamatan fisik warga masyarakat mengharuskan adanya pemerintahan
berdasarkan hukum, dengan perlakuan adil kepada semua warga masyarakat tanpa
kecuali, sesuai dengan hak masing-masing. Hanya dengan kepastian hukumlah
sebuah masyarakat mampu mengembangkan wawasan persamaan hak dan derajat antara
sesama warganya, sedangkan kedua jenis persamaan itulah yang menjamin
terwujudnya keadilan social. Adapun kita juga telah mengetahui bahwa worldview
(pandangan hidup) yang paling jelas universalitasnya adalah pandangan
keadilan social.
Demikian juga, garansi dasar atas
keselamatan keyakinan agama atau aliran
(dalam konteks keislaman) masing-masing bagi para warga masyarakat melandasi
hubungan antar warga masyrakat atas dasar sikap saling hormat, yang akan
menumbuhkan kerangka sikap toleransi dan saling pengertian yang besar.
Garansi dasar akan keselamatan keluarga
menampilkan sosok moral yang sangat kuat, baik moral dalam arti kerangka etis
yang utuh maupun dalam ary kesusilaan. Kesucian keluarga dilindungi sekuat
mungkin, karena keluarga merupakan ikatan social paling dasar, karenanya tidak
boleh dijadikan ajang manipulasi dalam bentuk apa pun oleh system kekuasaan
yang ada.
Garansi dasar akan keselamatan harta benda
merupakan sarana bagi berkembangnya hak hak individu secara wajar dan proporsional,
dalam kaitannya dengan hak-hak masyarakat atas individu bahwa masyarakat berhak
menentukan kewajiban-kewajiban atas masing-masing individu warga masyarakat
secara kolektif. Tetapi penetapan kewajiban itu ada batasan-batasannya. Batas
paling praktis jika dilihat dari perkembangan Sosialisme dan terutama
Marxisme-Leninisme Saat ini pemilikan harta dialihkan pada masing-masing
individu sehingga secara perseorangan memiliki peluang dan sarana untuk
mengembangkan diri melalui cara atau pola yang dipilihnya sendiri, namun tetap dalam alur umum kehidupan masyarakat.
Sejarah umat manusia menunjukkan bahwa hak dasar akan pemilikan harta benda
inilah yang menjadi penentu kreatifitas individu masyarakat yang berarti
kesediaan melakukan transformasi itulah warga masyarakat memperlihatkan wajah
universal kehidupannya.
Garansi dasar akan keselamatan profesi
menampikan sosok lain lagi dari universalitas ajaran Islam. Penghargaan kepada
kebebasan penganut profesi berarti kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan
atas resiko sendiri, mengenai keberhasilan yang ingin diraih dan kegagalan yang
membayanginya. Dengan ungkapan lain kebebasan menganut profesi berarti yang dipilih berarti peluang menentukan arah
hidup lengkap dengan tanggung jawabnya sendiri.
Secara keseluruhan, kelima garansi
tersebut menampilkan universalitas pandangan hidup yang utuh dan bulat.
Pemerintahan berdasarkan hukum, persamaan derajat dan sikap tenggang rasa
terhadap perbedaan pandangan adalah unsure-unsur utama kemanusiaan, dan dengan
demikian menunjukkan universalitas ajaran Islam. Namun, kesemua jaminan dasar
itu hanya menyajikan kerangka teoritik atau hanya moralisti belaka yang tak
berfungsi jika tak di dukung kosmopolitanisme peradaban Islam.
Mengenai konsep keadilan sendiri, bahwa
itu merupakan bagian inti Islam yang memang agak sulit untuk diragukan, Sebab,
menurut Cak Nur, cita-cita itu dirasakan sekali denyut nadinya secara kuat
dalam surah-surah atau ayat-ayat al-Quran yang semuanya ternasuk yang mula-mula
diturunkan kepada Rasulullah. Keprihatinan Nabi mengenai masyarakat madinah
misalnya, kata Cak Nur ialah, politeisme dan kezaliman system ekonominya.
Politeisme bagi Cak Nur, “merupakan dosa yang tak terampuni (QS al-Nisa 48 dan
116), karena itu merupakan kejahatan terbesar manusia kepada dirinya sendiri
(QS Luqman 13).[5]
Tentang keadilan ini Amien Rais juga
mengemukakan bahwa, “bila kita pelajari al-Quran, tampak jelas bahwa keadilan
adalah sesuatu yang utuh.” Keliru besar kata Amien, jika kita hanya mengupas
keadilan hukum saja, dan mengabaikan keadilan social serta keadilan ekonomi.[6]
Kemudian sebagai bukti ia menunjukkan sahabat Rasulullah yang merupakan tokoh
pejuang keadilan dalam Islam yaitu Abu Dzar al-Ghiffary dan Ibn Hazm.
Tak heran kalau Rasulullah sering digelari
sebagai abul masakin atau bapak orang-orang miskin yang senantiasa
berpesan ; “Carilah aku di antara orang-orang yang lemah di antara kamu.
Konsep Ukhuwah Islamiyah dalam Islam
Cukup banyak himbauan dalam al-Quran dan
as-Sunnah untuk menjalin hubungan persahabatan dan persaudaraan di antara umat
Islam, firman Allah SWT yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang Mukmun itu
bersaudara.”
Dan berpegang teguhlah pada tali agama
Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai. (Ali Imran: 103).
Muhammad Rasulullah dan orang-orang yang bersamanya, mereka bersikap tegas terhadap orang
kafir, tetapi berkasih saying di antara sesama mereka. (al-Fath: 29).
Sudah
lama umat ini membicarakan mutlaknya ukhuwah Islamiyah bagi sesama muslim, tapi
realitas hidup kita sehari-hari tidak selalu mendukung cita-cita itu. Sebagian
kita barangkali letih berbicara tentang ukhuwah ini karena umat dalam
periode-periode tertentu sejarah tidak menghiraukan sama sekali masalah ukhuwah
ini. Perbedaan kepentingan politik adalah di antara sebab utama buyarnya
ukhuwah kita.
Politik adalah masalah kekuasaan, dan ia merupakan sesuatu yang memang mutlak bagi pembumian suatu cita-cita. Tanpa kekuasaan, suatu cita-cita akan tetaplah berada di awang-awang, dan dengan kekuasaan diharapkan cita-cita itu akan dikonfrontasikan dengan pengalaman empiris manusia.
Politik adalah masalah kekuasaan, dan ia merupakan sesuatu yang memang mutlak bagi pembumian suatu cita-cita. Tanpa kekuasaan, suatu cita-cita akan tetaplah berada di awang-awang, dan dengan kekuasaan diharapkan cita-cita itu akan dikonfrontasikan dengan pengalaman empiris manusia.
Tetapi yang menjadi persoalan dalam sejarah
Islam bukan perlu tidaknya kekuasaan itu, sebab kita semua sependapat bahwa
kekuasaan itu perlu. Yang menjadi persoalan adalah: untuk apa kita berkuasa.
Bila dikaitkan dengan cita-cita Islam, maka jawabannya adalah bahwa kekuasaan
itu dipergunakan untuk menegakkan prinsip-prinsip dan cita-cita moral di muka
bumi. Visi moral inilah yang sering kali menghilang dari permukaan sejarah
Islam, hingga agama sering dijadikan dasar justifikasi bagi status quo suatu
kekuasaan.
Tanpa
perumusan yang jelas dan tajam tentang tujuan kita berkuasa, dikhawatirkan
Islam hanyalah sekedar pakaian luar untuk menyelumuti ambisi-ambisi jahat yang
sengaja disembunyikan. Karena umat kita sebagian besar belum lagi terdidik
secara baik, maka mereka sering kali dipermainkan oleh para politisi Muslim
yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, sudah sepantasnya cita-cita
moral ini dijadikan pangkal tolak bagi setiap kegiatan politik Islam. Dan
semuanya ini hanyalah mungkin menjadi kenyataan bila orang mau berangkat dari
etika Al-Qur’an, bukan etika golongan, suku, bangsa dan warisan leluhur.
Tentang etika Al-Qur’an, kita dapat merujuk pada surah-surah Al-Hujurat: 10,
13, dan 15; Al-Nisa’: 58; Al-Nahal: 90; Al-Maidah: 8; Al-Zumar: 18; dan
Al-Baqarah: 256. Semua ayat ini mengemukan prinsip-prinsip persamaan, keadilan,
persaudaraan, dan toleransi yang harus dijadikan landasan utama bagi kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Tapi prinsip-prinsip ini akan tetap
mengawang-awang bilamana manusianya berkualitas rendah, dalam arti tidak punya
kejujuran, bersifat materialistik dan bervisi dangkal. Cita-cita Al-Qur’an
hanyalah mungkin membumi bila didukung oleh manusia bermutu, berorientasi jauh
melampaui batas-batas bumi, dan punya rasa tanggung jawab besar terhadap Tuhan
dan sejarah. Rasa tanggung jawab inilah yang masih lemah pada kebanyakan kita.
Kadang-kadang
saya berpikir ekstrem, yaitu apakah umat Islam yang ada sekarang ini punya
kemampuan untuk memikul amanat Tuhan sebagai khalifah di muka bumi? Amanah ini
berupa perintah Allah kepada manusia beriman terutama untuk menegakkan suatu
tata kehidupam bermoral yang dapat dirasakan sebagai rahmat oleh umat manusia
secara keseluruhan. Islam datang bukan untuk menebarkan kebencian, malapetaka,
dan kecemburuan rasial, sekalipun ada di antara umatnya, pada periode-periode
tententu dalam sejarah , dapat berbuat hal-hal yang bertentangan dengan etika
Al-Qur’an itu. Namun karena Al-Qur’an masih dibaca, ada saja sekelompok umat
yang memperingatkan penyimpangan-penyimpangan dari ajaran Islam. Oleh sebab
itu, prinsip saling mempengingatkan sesama umat Islam perlu dihidupkan dan
dikembangkan terus menerus. Yang harus diperhatikan adalah bahwa peringatan itu
harus disampaikan secara bijak dan ikhlas.
Islam
muncul ke permukaan sejarah dalam setting sosio-kultural tertentu. Oleh sebab
itu, tidak mengherankan bahwa Al-Qur’an tidak membabat habis semua warisan
kultural Arab pra-Islam, selam warisan itu tidak bertentangan dengan wahyu.
Adapun yang bertentangan, seperti perbuatan syirk yang melekat di jantung orang
Arab pra-Islam memang tidak diberi ampun. Syirk dengan segala atributnya
dihancurkan oleh tauhid dengan segala implikasinya. Adapun kebiasaan
menghormati tamu yang menjadi bagian dari keberadaan orang Arab sepenuhnya
dikokohkan Al-Qur’an.
Universalisme
Islam haruslah difahami sebagai ajaran yang fitri, manusiawi, dan bernilai
universal. Artinya, ajaran Islam, bila dipahami dengan benar dan akurat, akan
dapat dihayati, diapresiasi, dan bahkan diterima oleh siapa saja yang terbuka
mata-batinnya. Hambatan-hambatan sejarah, kultural, dan sosiologis tidak banyak
artinya bagi penerimaan ajaran Islam sejati. Ajaran tauhid dan egalitarian
adalah di antara ajaran Islam yang bernilai universal itu. Tauhid membebaskan
manusia dari segala ikatan duniawi dalam mencari kebenaran, sedangkan pesan
egalitarian yang membuahkan persaudaraan hakiki adalah manifestasi lain dari
prinsip tauhid itu. Manifestasi penting lainnya ialah sikap toleransi. Sikap
toleran ini tidak saja ditujukan kepada sesama Muslim, melainkan juga terhadap
pemeluk agama lain - bahkan terhadap kaum ateis, sepanjang mereka tidak
mengganggu keamanan umat Islam. Hak untuk menjadi kafir – sudah tentu dengan
segala resikonya – sebenarnya dibenarkan oleh Al-Qur’an (lihat, Surah Al-Kahfi:
29; Al-Isra: 107). Dalam surah Yunus ayat 99 Al-Qur’an tegas-tegas mengatakan:
“Dan sekiranya Tuhan menghendaki, tentu telah berimanlah penduduk bumi
seluruhnya. Apakah engkau (Muhammad) akan memaksa manusia hingga (semuanya)
menjadi beriman?”
Dari
ayat-ayat Al-Qur’an ini dapat dipahami bahwa paksaan dalam bentuk apapun agar
orang lain beriman adalah bentuk tindakan tidak etis dan bertentangan dengan
kemauan Allah. Dengan demikian bila hal ini terjadi, ia merupakan tindakan
amoral. Untungnya, dalam sejarah Islam, tindakan paksaan semacam ini jarang
terjadi, sebab Al-Qur’an memang gamblang dalam masalah ini. Sikap Al-Qur’an
dalam masalah iman ini adalah sikap yang sangat dewasa dan “modern”. Sikap ini
adalah bagian dari prinsip universalisme Islam yang datang ke Indonesia memang
dikenal sebagai Islam yang toleran, bahkan dalam beberapa kasus, agak terlalu
toleran.
Begitu
pun apa yang di ungkapkan Caknur bahwa memahami Islam di Indonesia sebagai
kekuatan etik/moral, dan kekuatan budaya. Jadi bukan kekuatan politik. Sebab
jika Islam menjadi kekuatan politik ia akan sektarian, terbatas dan eksklusif.
Islam yang diperjuangkan menurut Caknur adalah islam Substansif, bukan Islam
Formalistik. Kemenangan Islam adalah kemenangan ide, bukan kemenangan kelompok.
Artinya, ide-ide seperti keadilan, kesetaraan,kebebasan, pluralisme harus
diperjuangkan oleh umat Islam bersama-sama dengan kelompok lain.[7]
Kembali
kepada pokok pembicaraan kita , ukhuwaaah Islamiyah hanyalah mungkin diwujudkan
secara utuh dan tidak sekedar untuk memberi justifikasi terhadap prakonsepsi
kita tentang umat, yang mungkin secara tidak kita sadari berasal dari landasan
etika-golongan. Oleh sebab itu, langkah pertama yang harus kita ambil ialah
membersihkan kecenderungan batin –intelektual kita- yang selama ini mungkin
didominasi oleh etika golongan, suku, dan ras- dengan Al-Quran yang difahami
secara utuh, jujur dan bertanggung jawab. Langkah kedua ialah kesediaan kita
untuk menilai secara kritis seluruh warisan intelektual dan kultural Islam
melalui kritik sejarah, dengan ruh Al-quran di otak belakang kita.
Fenomena
Pluralisme Islam di Indonesia
Sudah
menjadi bagian dari retorika di negeri kita ini bahwa Islam merupakan agama
mayoritas. Retorika ini malah menyebutkan angka 90 sebagai
persentasi umat Islam dari seluruh penduduk negeri, tanpa pernah dipersoalkan
dari mana asal usul angka itu selain perkiraan dan kesan.
Walaupun begitu, Islam memang merupakan
agama bagian terbesar bangsa kita, apapun makna penganutan mereka terhadap
agama itu dan betapapun beranekanya tingkat intensitas penganutan itu dari
kelompok ke kelompok dan dari daerah ke daerah. Sebelum melangkah lebih jauh
dalam pembicaraan tentang pokok persoalan ini, dirasa ada manfaatnya menelaah
sejenak keadaan Islam di Indonesia. Mungkin yang hanya bisa digambarkan disini
hanya sekedar mengemukakan beberapa masalah menonjol atau high lights yang
dianggap relevan saja.
Kalau kita menengok kembali sejarah awal
masuknya Islam di Indonesia yang terjadi pada dua periode, yaitu pada abad ke 7
dan 13 M dengan karakteristik Keislaman yang berbeda. Pada abad ke 7 M yang
mana waktu itu adalah zaman kekhalifahan Usman bin Affan, Islam datang di
belahan barat Nusantara (Indonesia) yaitu di Aceh dengan karakteristiknya yang
normative-fundamentalis, mereka cenderung bersifat rigid dan literalis. Kaum
fundamentalis sangat menekankan symbol-simbol keagamaan daripada substansinya.[8]
Mereka menganggap bahwa doktrin agama telah mengatur segala-galanya. Sedangkan
pada periode kedua yaitu sekitar abad 13 M Islam menjajaki di tanah Jawa dan
pada saat ini pula muncul WaliSongo sebagai tokoh penyebar Islam di tanah Jawa.
Pada masa ini, karakteristik Islam yang dibangun bersifat cultural, karena
strategi yang digunakan Wali Songo pada waktu itu adalah mengakulturasikan
nilai-nilai Keislaman dengan budaya-budaya local. Jadi, ini bisa menjadi pemicu
akan beragamnya pemahaman keislaman yang ada di Indonesia.
Dalam perkembangannya, keberagaman
tersebut bersifat lebih komplek lagi yakni meliputi tataran pikiran,
penghayatan dan aksi serta system social. Ini menimbulkan problematika
keagamaan yang pelik baik di lingkungan komunitas internal agama itu sendiri
maupun dalam kaitannya dengan kehidupan yang lebih luas seperti ekonomi,
politik, ideology, iptek dan lain
sebagainya.
Sehingga penting untuk dirnungkan bersama
bahwa prospek sosial-religius merupakan motor seorang muslim, dimana seorang
muslim haruslah sekaligus seorang sosialis. Baik sebagai istilah maupun sebagi
ide, bukanlah sesuatu yang sama sekali baru, jhususnya di Indonesia.
Di luar negri, ide sosialisme-religius
juga bukan suatu barang aneh. Hampir semua negri Islam, terutama yang biasa
digolongkan sebagai radikal seperti Aljajair, Libia, Mesir, Siria, menganut
sistem sosialisme Arab. Kadang dinamakan sosialisme Islam.[9]
Dalam internal Islam sendiri misalnya
muncul paham Islam yang bercorak fundamentalis. Normatif-teologis, eksklusif,
rasional, pluralis, transfornatif, actual, kontekstual, cultural,
dinamis-modernis, liberal dan lain sebagainya.[10]
Obyektifitas hakikat kebenaran suatu agama
sangatlah subyektif. Eksistensinya sangat di tentukan dan dipengaruhi oleh apa
yang ditemukan oleh manusia dari pemahamaan ajaran-ajaran (baca:kitab suci)
yang dipelajari.Tuhanpun telah merestuai dan membenarkan atas sunnahNya.[11]
Oleh sebab itu, Berdasarkan sejarah dan
fenomena yang ada bahwa pluralitas Islam di Indonesia ini bisa dibilang perkara
yang wajar dan tak perlu adanya justifikasi akan mana pemahaman yang benar,
karena kebenaran akan pemahaman tersebut bergantung pada masing-masing individu
yang menggelutinya.
Fenomena
Konflik antar Umat Islam di Indonesia dan Faktor-Faktor Melandasinya
Kian
hari kian mengkhawatirkan. Ketegangan di internal umat Islam terus berlangsung.
Di Irak, beberapa hari yang lalu, kita menyaksikan adanya pemboman terhadap
sejumlah mesjid yang dilakukan oleh umat Islam sendiri. Orang Islam sunni
merusak mesjid orang Syi’ah. Dan begitu juga sebaliknya. Hal yang sama juga
bisa kita saksikan di Pakistan. Antara orang Sunni dan Syi’ah berupaya saling
menghancurkan mesjid masing-masing. Mesjid yang sering disebut sebagai rumah
Allah SWT (bayt Allah) itu telah dijadikan sebagai reservat untuk
melakukan balas dendam dan pelampiasan angkara murka. Di tangan umat Islam
sendiri, mesjid seperti telah kehilangan daya magis dan aura karismatiknya
sehingga dengan mudah bisa dibenamkan. Mesjid tidak lagi menjadi semacam
hibernasi yang menampung segala friksi dalam syahdu.
Satu
kata bukan berarti tidak ada perbedaan titik pandang dalam masalah-masalah
parsial. Bahkan perbedaan pendapat dan arah pandang yang beragam menunjukan
kesuburan berpikir dan aktifitas hati yang dinamis yang terus di pompakan Islam
ke dalam otaknya umat. Tapi dalam persoalan-persoalan yang bersifat universal,
mereka meninggalkan perbedaan pendapat ini merujuk pada satu pendapat yang
dapat diterima oleh umat.[12]
Dalam konteks Indonesia, kita pun disodori tayangan pengrusakan
mesjid-mesjid dan rumah-rumah kelompok Islam Ahmadiyah. Kerap diberitakan,
sebagian warga Ahmadiyah mendapatkan ancaman, baik fisik maupun non fisik.
Beberapa tokoh Islam mainstream pun ikut menekan agar kelompok Ahmadiyah
hengkang dari Islam jika mereka masih ngotot dengan akidah yang
dipegangnya. Negara atau persisnya pemerintah tak tahu-menahu akan adanya
tindakan kriminal yang cukup dahsyat itu. Di negerinya sendiri kelompok
Ahmadiyah diperlakukan bak seorang anak haram jadah yang terkutuk. Atas kondisi
itu, belakangan tersiar kabar bahwa kelompok Islam Ahmadiyah hendak meminta
suaka ke luar. [13]
Memperhatikan fakta-fakta seperti itu, saya merasa miris dan
gelisah. Itukah hakekat ajaran Islam yang dibawa oleh Kanjeng Rasul Muhammad
SAW? Mengapakah umat Islam cenderung bersikap apokaliptik di dalam menghadapi
perbedaan-perbedaan tafsir yang muncul? Perbedaan tafsir nyaris selalu menelan
ongkos yang tak murah, yaitu pemberangusan. Mengapa pula mesjid selalu menjadi
sasaran penyerangan? Mesjid yang dimiliki oleh satu kelompok tertentu, di mata
kelompok Islam yang lain tak ubahnya mesjid dhirar yang bisa dirobohkan. Maka,
ke mana gerangan sikap-sikap toleran yang telah lama ditauladankan oleh Kanjeng
Nabi Muhammad? Sikap yang arif nan bijaksana kini semakin mewah kita temukan di
kalangan umat Islam.
Peradaban kekerasan telah menjungkirbalikkan nurani dan akal sehat
menjadi batu. Alih-alih agama akan menjadi solusi, yang terjadi justeru menjadi
beban dan problem. Kekerasan yang dilakukan oleh sebagian umat Islam ini, suka
atau tidak, telah menenggelamkan integritas moral Islam ke dalam kubangan
kejahatan atas kemanusiaan. Citra Islam sebagai agama damai dan anti kekerasan
segera pupus, digantikan oleh citra Islam sebagai agama kaum teroris. Teror
bukan hanya dialami umat agama lain, melainkan juga menimpa sebagian umat
Islam. Kini kelompok Islam Ahamadiyah mengalami ketakutan menghadapi ancaman
kelompok Islam lain. Ahmadiyah dipandang telah melakukan makar terhadap akidah
Islam sehingga boleh dibasmi. Begitu juga antara kaum Sunni dan Syi’ah di Irak,
Pakistan, dan tidak tertutup kemungkinan akan melebar ke negeri-negeri Islam
yang lain.
Tentu ada banyak faktor yang memicu dan melatar belakangi terjadinya
konflik internal umat Islam tersebut. Salah satunya adalah soal teologis. Umum
diketahui bahwa pertengkaran semacam itu dipicu oleh adanya perbedaan di dalam
menafsirkan Islam. Sayangnya, perbedaan tafsir itu tidak dimaknai sebagai
rahmat yang harus dinikmati, melainkan sebagai laknat yang harus dijauhi.
Setiap kelompok dalam Islam selalu berpendirian perihal adanya kebenaran tafsir
tunggal, seperti yang dirumuskannya sendiri. Sementara tafsir orang lain
diposisikan sebagai berada dalam kesesatan yang terang-benderang. Dengan ini,
timbullah sejumlah ketegangan di internal umat Islam. Antara Sunni dan Syi’ah.
Antara Sunni dan Mu’tazilah. Antara Sunni dan Ahmadiyah. Bahkan, di internal
Sunni pun sering terjadi perang dingin. Di Indonesia pernah terjadi hubungan
tak harmonis antara Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah karena hal-hal yang
sebenarnya sangat remeh-temeh. Namun, alhamdulillah, hubungan tak harmonis
antara dua ormas keislaman besar itu tak berujung pada penghancuran, satu
dengan yang lain.
Itu pertarungan atau konflik yang terjadi antar kelompok dalam
Islam. Nah, yang tak kalah mengerikannya juga adalah ancaman terhadap para
intelektual yang oleh Islam mainstream dipandang memiliki tafsir
keagamaan sesat. Sejarah telah merekam sejumlah nama intelektual yang pernah
mengalami ancaman ekskomunikasi bahkan ancaman bunuh. Di antaranya adalah Ibnu
Rusyd yang perpustakaan pribadinya dan sejumlah buku hasil buah tangannya
dibakar. Nashr Hamid Abu Zaid yang oleh pengadilan Mesir divonis murtad
sehingga layak dibunuh dan harus diceraikan dari isterinya. Dengan alasan
keamanan diri, kini Abu Zaid lebih memilih tinggal Belanda ketimbang di Mesir.
Dalam konteks Indonesia, adalah apa yang dialami oleh teman saya, Ulil Abshar
Abdalla. Sejumlah ulama di Jawa Barat memvonis Ulil telah keluar dari Islam (murtad)
sehingga pantas diganjar dengan hukuman mati. Pada faktor pertama ini, kita
sedang berhadapan dengan fallacy pemutlakan.[14]
Faktor lain, saya kira, adalah soal politik-kekuasaan. Sering
dikisahkan bahwa pertarungan internal di kalangan umat Islam itu justeru pemicu
utamanya adalah soal politik belaka, sementara faktor teologis hanya sekadar
bumbunya. Semua kaum terpelajar Islam mesti mengetahui bahwa perang unta (waq’ah
al-jamal) antara Aisyah (isteri Nabi Muhammad) melawan Ali bin Abi Thalib
(sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad), perang shiffin antara Ali bin Abi
Thalid dan Mu’awiyah bin Abi Sofyan, sepenuhnya dipicu oleh faktor politik
kekuasaan. Saya menduga, Irak pasca-Saddam Husein tengah berkubang dalam
pertarungan politik kekuasaan antara Sunni dan Syi’ah, yang salah satu
ekspresinya adalah perang dengan membakar mesjid masing-masing.
Fakta-fakta seperti ini penting diungkap ke publik Islam untuk
menjadi bahan permenungan bagi semuanya. Bahwa Islam yang direklamekan Nabi
sebagai agama damai, agama cinta, telah ternoda hanya beberapa waktu setelah
Nabi Muhammad wafat. Umat Islam sibuk berperang di antara mereka sendiri. Harga
yang harus dibayar pun sangat mahal. Jika dihitung sejak perang unta hingga
sekarang, maka jelas ada sekian juta umat Islam telah mati terbunuh di tangan
umat Islam yang lain. Belum lagi kalau kita mau menghitung kerugian material
akibat konflik tersebut. Sungguh, ini sebuah nestapa dari konflik internal umat
Islam.
Kesimpulan
Dari uraian makalah diatas dapat
disimpulkan beberapa pointer-pointer penting di dalamnya, diantaranya adalah :
Islam yang universal
adalah Islam yang memiliki kepekaan akan tuntutan zaman dan denyut dinamika
social-kemasyarakatan atau mengandung unsur-unsur Rahmatan lil Alamin dalam
ajaran-ajarannya.
Berkenaan dengan
universalitas Islam bahwa terdapat lima garansi dasar yang akan diterima oleh
tiap-tiap umat manusia, antara lain; keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani diluar ketentuan hukum,
keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah
agama, keselamatan keluarga dan keturunan, keselamatan harta benda dan milik
pribadi di luar prosedur hukum, dan keselamatan profesi.
Universalisme Islam haruslah difahami sebagai ajaran yang
fitri, manusiawi, dan bernilai universal. Artinya, ajaran Islam, bila dipahami
dengan benar dan akurat, akan dapat dihayati, diapresiasi, dan bahkan diterima
oleh siapa saja yang terbuka mata-batinnya.
Ukhuwaaah Islamiyah hanyalah mungkin diwujudkan secara utuh
dan tidak sekedar untuk memberi justifikasi terhadap prakonsepsi kita tentang
umat, yang mungkin secara tidak kita sadari berasal dari landasan
etika-golongan. Oleh sebab itu, langkah pertama yang harus kita ambil ialah
membersihkan kecenderungan batin –intelektual kita- yang selama ini mungkin
didominasi oleh etika golongan, suku, dan ras- dengan Al-Quran yang difahami secara
utuh, jujur dan bertanggung jawab. Langkah kedua ialah kesediaan kita untuk
menilai secara kritis seluruh warisan intelektual dan kultural Islam melalui
kritik sejarah, dengan ruh Al-quran di otak belakang kita.
pluralitas Islam di
Indonesia ini bisa dibilang perkara yang wajar dan tak perlu adanya justifikasi
akan mana pemahaman yang benar, karena kebenaran akan pemahaman tersebut
bergantung pada masing-masing individu yang menggelutinya. Obyektifitas hakikat
kebenaran suatu agama sangatlah subyektif. Eksistensinya sangat di tentukan dan
dipengaruhi oleh apa yang ditemukan oleh manusia dari pemahamaan ajaran-ajaran
(baca:kitab suci) yang dipelajari.Tuhanpun telah merestuai dan membenarkan atas
sunnahNya.
Ada banyak faktor yang memicu dan melatar belakangi
terjadinya konflik internal umat Islam tersebut. Salah satunya adalah soal
teologis. Umum diketahui bahwa pertengkaran semacam itu dipicu oleh adanya
perbedaan di dalam menafsirkan Islam. Faktor lain adalah soal
politik-kekuasaan. Sering dikisahkan bahwa pertarungan internal di kalangan
umat Islam itu justeru pemicu utamanya adalah soal politik belaka, sementara
faktor teologis hanya sekadar bumbunya. Fakta-fakta seperti ini penting
diungkap ke publik Islam untuk menjadi bahan permenungan bagi semuanya. Bahwa
Islam yang direklamekan Nabi sebagai agama damai, agama cinta, telah ternoda
hanya beberapa waktu setelah Nabi Muhammad wafat.
DAFTAR PUSTAKA
Amin. Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996
Djamaludin Dedy. Subandi Ibrahim Idi, Zaman
Baru Islam Indonesia, Bandung: Zaman
Wacana Mulia, 1998
Madjid. Nurcholish.Dkk, Islam Universal,Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007
Madjid
. Nurcholish, Islam kemodernan dan keindonesiaan, Jakarta: Mizan Media Utama,2008.
Shihab. Quraish, Membumikan
Al-Qur’an, Bandung: Mizan 2001.
Nata. Abuddin,
Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2001
Siradj.
Aqil, islam kebangsaan: Fiqih demokratik kaum santri. Jakarta: pustaka Ciganjur, 1999.
Said. Muhammad Ra’fat, Islam
di antara kelompok-kelompok sesat.Yogyakarta.PT.LkiS Pelangi Aksara 2006.
Ghaus. Ahmad, Api Islam Nurcholis
madjid jalan hidup seorang visioner, PT. Kompas media nusantara,Jakarta.2010
Engineer.
Ali Asghar, Islam Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993
Koran Tempo, Kamis, 9 Maret 2006
Buletin
Concern HMI Tarbiyah IAIN edisi I 2011
[1]
Nurcholish Madjid, Islam kemodernan dan keindonesiaan,(jakarta:Mizan Media
Utama,2008)hal 111
[3] Nurcholis Majid. Dkk, Islam
Universal,(Yogyakarta: Pustaka pelajar 2007), hal 2
[4]
Dr. M. Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur’an, ( Bandung: Mizan 2001) hal 213
[5]Dedy Djamaluddin, Idi Subandi
Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia, (Bandung : Zaman Wacana Mulia 1998)
hal 196
[6] Ibid 198
[7]Ahmad Ghaus, Api Islam Nurcholis
madjid jalan hidup seorang visioner, percetakan kompas,Jakarta hal 155.
[8] Abuddin Nata, Peta Keragaman
Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada 2001) hal 25
[10] Ibid 6
[12] Muhammad Ra’fat said ,Islam di
antara kelompok-kelompok sesat.Yogyakarta.PT.LkiS Pelangi Aksara.hal.77
[13]Http//nestapa-konflik-internal-umat-islam.htm
Belum ada tanggapan untuk "Universalitas & Ukhuwah dalam Islam"
Post a Comment