"Telaah Kritis Media dab icon peradaban Mendobrak Masyarakat Konsumtif "
Media adalah sarana, alat komunikasi bagi masyarakat;
yang terletak di antara dua pihak atau sebagai perantara, dan penghubung.[1] Media sebagai alat komunikasi yang efektif
bagi perkembangan kehidupan manusia, dari madia lah informasi dapat dengan
mudah diakses oleh manusia.
Seiring dengan kemajuan teknologi, media menjadi
seuatu yang tidak dapat ditinggalkan manusia. Bahkan, hari ini media sudah
digenggaman tangan, semua informasi dapat diakses dengan mudah kapanpun berada.
komunikasi itu mengandung pengertian sebagai suatu
proses men-transmit/memindahkan kenyataan-kenyataan, keyakinan-keyakinan,
sikap-sikap, reaksi-reaksi emosional, misalnya marah, sedih, gembira atau
mungkin kekaguman atau yang menyangkut kesadaran manusia. Pemindahan tersebut
berlangsung antara manusia satu kepada yang lainnya. Jadi, jelas bagi sosiologi
komunikasi itu tidak sekadar berisi informasi yang dipindah-pindahkan dari
seseorang kepada yang lainnya, melainkan juga meliputi ungkapan-ungkapan
perasaan yang pada umumnya dialami oleh umat manusia yang hidup di dalam
masyarakat.
Lingkungan komunikasi, setidak-tidaknya mempunyai 3
dimensi, yaitu dimensi fisik, dimensi sosial psikologis, dan dimensi temporal.
Ketiga dimensi tersebut sering kali bekerja bersama-sama dan saling
berinteraksi, dan mempunyai pengaruh terhadap berlangsungnya komunikasi.
Proses adalah suatu rangkaian aktivitas secara terus-menerus dalam kurun waktu tertentu. Yang dimaksud dengan kurun waktu tertentu itu memang relatif. Dia bisa pendek, tetapi bisa juga panjang/lama, hal tersebut sangat tergantung dari konteksnya. Proses komunikasi secara primer adalah komunikasi yang dilakukan secara tatap muka, langsung antara seseorang kepada yang lain untuk menyampaikan pikiran maupun perasaannya dengan menggunakan simbol-simbol tertentu, misalnya bahasa, kial, isyarat, warna, bunyi, bahkan bisa juga bau.
Proses adalah suatu rangkaian aktivitas secara terus-menerus dalam kurun waktu tertentu. Yang dimaksud dengan kurun waktu tertentu itu memang relatif. Dia bisa pendek, tetapi bisa juga panjang/lama, hal tersebut sangat tergantung dari konteksnya. Proses komunikasi secara primer adalah komunikasi yang dilakukan secara tatap muka, langsung antara seseorang kepada yang lain untuk menyampaikan pikiran maupun perasaannya dengan menggunakan simbol-simbol tertentu, misalnya bahasa, kial, isyarat, warna, bunyi, bahkan bisa juga bau.
Di antara simbol-simbol yang dipergunakan sebagai
media dalam berkomunikasi dengan sesamanya, ternyata bahasa merupakan simbol
yang paling memadai karena bahasa adalah simbol representatif dari pikiran
maupun perasaan manusia. Bahasa juga merupakan simbol yang produktif, kreatif
dan terbuka terhadap gagasan-gagasan baru, bahkan mampu mengungkapkan
peristiwa-peristiwa masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.[2]
Proses komunikasi secara sekunder adalah komunikasi
yang dilakukan dengan menggunakan alat/sarana sebagai media kedua setelah
bahasa. Komunikasi jenis ini dimaksudkan untuk melipatgandakan jumlah penerima
informasi sekaligus dapat mengatasi hambatan-hambatan geografis dan waktu.
Namun, harap diketahui pula bahwa komunikasi jenis ini hanya efektif untuk
menyebarluaskan pesan-pesan yang bersifat informatif, bukan yang persuasif.
Pesan-pesan persuasif hanya efektif dilakukan oleh komunikasi primer/tatap
muka.
Komunikasi sosial ialah suatu proses interaksi di
mana seseorang atau lembaga menyampaikan amanat kepada pihak lain supaya pihak
lain dapat menangkap maksud yang dikehendaki penyampai. Unsur-unsur dalam
komunikasi sosial, yaitu komunikator (pihak yang memulai komunikasi), amanat
(hal-hal yang disampaikan dapat berupa perintah, kabar, buah pikiran, dan
sebagainya), media (daya upaya yang dipakai untuk menyampaikan amanat kepada
penerima), komunikan (orang atau satuan orang-orang yang menjadi sasaran
komunikasi), dan tanggapan (respons) adalah tujuan yang diharapkan oleh
komunikator).[3]
A. Sejarah Ideologi Media di Indonesia
Membaca akar sejarah dan ideologi media di indonesia,
tentu akan kita temukan banyak sekali ideologi yang berbeda dari masing-masing
eranya, dimulai dari era kolonialisme media pribumi khususnya sangat dibatasi
oleh para penjajah untuk menyampaikan atau menginformasikan prihal informasi
kepada publik. begitu pula dengan era orde lama, media yang sarat dengan
partai-partai politik, sehingga dapat dikatakan pada`era ini pembentukan opini
publik sangat erat dengan penyampaian ideologi partai politik untuk mengelabuhi
masyarakat. Akan jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada era orde baru, media
ditutup rapa-rapat oleh pemerintahan, sehingga pada era ini dapat disebut
dengan era matinya kebebasan pers. Menunju pada era reformasi, media sudah
dapat sepenuhnya melakukan penggalian dan penyampaian media dengan
sebebas-bebasnya. Namun, regulasi pemilik modal pada era ini sangatlah kental,
sehingga tidak dapat dipungkiri bila terjadi pembentukan opini publik sesuai
dengan request pemodal yang berduit banyak.
Untuk selebihnya, akan dijabarkan sejarah dan ideologi
media dimasing-masing era kepemrintahan, sebagaimana berikut :
1)
Era Kolonialisme
(Penjajahan)
Media massa nasional milik pribumi lahir pada era
kolonial. Kemunculan Medan Prijaji pada 1907 menjadi tonggak
bangkitnya media massa nasional[4].
Media massa yang dominan kala itu adalah media milik Belanda yang melayani
kebutuhan pemodal yakni para pemilik pabrik gula. Minimnya akses dan
pemberitaan yang memihak pribumi, membuat R.M. Tirto Adisuryo merasa perlu
menerbitkan media nasional milik pribumi. Media massa pribumi yang berkembang
selanjutnya tak lepas dari semangat perjuangan yang memihak kaum minoritas yakni
pribumi. Media pribumi menjadi counter culture bagi media dominan saat
itu. Media pribumi menawarkan cara pandang baru—persamaan dan kebebasan—dalam
melihat relasi sosial masyarakat feodal pada masa itu
2)
Era Kemerdekaan
a)
Demokrasi Terpimpin (Orde Lama)
. Setelah Indonesia merdeka, ideologi pembebasan dan
perjuangan kelas ini beralih. Dengan berlakunya demokrasi liberal di Indonesia,
banyak bermunculan media massa terbitan partai-partai politik. Masing-masing
media berusaha menghadirkan realitas dengan cara pandang atau ideologinya.
Perang ideologi pun terjadi. Media dengan beragam cara mengemas realitas
sedemikian rupa untuk mendapatkan konstituen sebanyak-banyaknya. Para politisi
menjadi agen yang dominan dalam menentukan ideologi media.
Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 menjadi titik balik riuh rendah perkembangan media
Indonesia. Dengan berlakunya demokrasi terpimpin, ideologi media–yang dulu
didominasi kepentingan politikus—berganti. Media diarahkan sepenuhnya menjadi
alat propagada pemerintah,sebagai ideologi dominan. Ideologi media diarahkan
menjadi seragam.
b)
Era Orde Baru
Keadaan tak jauh beda pada masa Orde Baru. Media masih
menjadi alat propaganda kebijakan pemerintah. Pengendalian media massa bukan
semata-mata untuk menguasai media tersebut, melainkan untuk menguasai alam
pikiran masyarakat tersebut[5].
Untuk itu, ideologi selain ideologi pemerintah dilarang berkembang atas nama
kestabilan pembangunan. Lewat Departemen Penerangan, Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers (SIUPP) dan mekanisme pembredelan, pemerintah Orde Baru
berusaha mengontrol ideologi media.
Realitas sosial masyarakat dibangun lewat repetisi
pemberitaan yang mengarahkan cara pandang masyarakat pada keteraturan ala Orde
baru. Masyarakat dikonstruksi agar menjadi permisif (taken for granted)
terhadap kebijakan pemerintah.
c)
Era Reformasi
Masa
Reformasi menjadi tiang pancang kebebasan media massa Indonesia. Jatuhya Orde
Baru dan pencabutan pemberlakuan SIUPP berdampak pada perkembangan corak
ideologi media. Kebebasan pers membuka peluang bagi terciptanya media yang
berorientasi pada masyarakat (civil centered).
Pada
era ini, media mampu menjadi wahana sosialisasi, diskursus, dan ajang tumbuh
kembang budaya di masyarakat. Budaya dominan di masyarakat memungkinkan untuk
ditantang dan dilawan dengan adanya kebebasan pers ini. James D. Hunter dalam
Croteau, 1994 menyebutnya sebagai the culture wars.
Di
sisi lain, celah regulator yang ditinggalkan pemerintah juga menjadi lahan
subur bagi perkembangan pasar atau kapital. Menjamurnya institusi media membuka
peluang pasar persaingan terbuka. Institusi media dengan kekuatan modal besar
menggusur media bermodal pas-pasan. Mekanisme ini membentuk pola media massa
Indonesia. Ideologi yang berbasis pasar menjadi ideologi yang dianut sebagian
besar media massa Indonesia.
Para
pemilik modal, sebagai penguasa pasar, menjadi pihak yang dominan dalam
pembentukan ideologi media. Orientasi kebijakan media berkutat pada melayani
kebutuhan pasar. Komersialisasi media menjadi kata kunci.[6]
Media
menghadirkan kembali realitas dengan cara pandang atau ideologinya sendiri.
Pada tahap ini media tak bisa lagi dimaknai sebagai institusi netral yang bebas
kepentingan. Kebijakan yang diambil media menjadi indikator ideologi media apa
yang diambil. Namun, perlu berhati-hati dalam menyimpulkan macam ideologi yang
sedang diusung sebuah media. Kepentingan pasar dan kebebasan pers seringkali
berkelindan sehingga tak jelas ujung pangkalnya.
Dalam
era reformasi, kebebasan pers membuka ruang bagi kelompok-kelompok masyarakat
untuk bertarung bebas. Pendekatan semacam ini tentunya patut dikritisi.
Masyarakat memang tak lagi dicengkeram kediktatoran penguasa, akan tetapi media
di dominasi kelompok elit pemilik modal. Media menjadi alat kelompok dominan
untuj memanipulasi dan mengukuhkan kehadirannya sembari memarjinalkan kelompok
minoritas[7].
B. Peran Media dalam Konstruksi Watak Peradaban
1)
Hegemoni dan Regulasi Pemilik
Modal
Berbicara tentang media massa dalam hal ini media
penyiaran Televisi maka kita akan dapat menarik garis besar kepemilikan yang
berpusat pada segelintir orang. Dalam hal ini Trans7 dan Trans TV berada pada
payung bisnis yang sama yakni Trans Corp yang dikuasai oleh Chairul Tanjung ,
Global TV, RCTI dan TPI bergabung dalam Group MNC dan bertindak selaku pemilik
di Indonesia adalah hary Tanoesoedibyo, TV ONE dan ANTV bernaung di bawah
bendera Bakrie Group dengan Boss utama Abu Rizal bakrie, SCTV yang sebahagian
besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja, dan yang terakhir Metro TV
dengan pimpinannya yang termasyhur karena wajahnya sering ditampilkan oleh TV
yang dimilikinya sendiri.
Singkat kata nama nama pemilik media yang disebutkan
di atas tadi merupakan orang-orang yang membangun kerajaan bisnisnya dengan
berupaya dekat dengan kekuasaan dan beberapa di antara ada yang duduk sebagai
orang penting di pemerintahan serta ada pula yang merupakan Tokoh penting pada
salah satu partai yang sekian lama berkuasa di republik Ini (baca Golkar).
Tidak menutup kemungkinan mereka membangun Media untuk memuluskan
kepentingannya dalam hal Perpolitikan dan penyebaran ideologi tertentu, melaui
media.[8]
Hal ini dapat dilihat dari wajah media yang mereka bentuk, di mana saat ini
banyak media yang mengawal kepentingan penguasa seperti yang baru baru ini
terlihat bagaiman televisi ramai ramai menyiarkan Rapimnas Partai Golkar
padahal di sisi lain masih banyak agenda agenda penting lainnya yang harus
diketahui oleh Publik seperti Penyelesaian Kasus lumpur lapindo yang sampai
saat ini masih jauh dari kata “beres”. Padahal salah satu hak yang harus
didapat masyarakat dari media adalah mereka mendapatkan Diversity Information.
Tentu saja Konglomerasi media ini sangat tidak sehat
dalam iklim berdemokrasi dan perpolitikan bangsa bangsa ini mengingat pengaruh
media yang begitu kuat terhadap kognitif khalayak. Jika mengacu pada Jurgen
habemas menyatakan media massa sesungguhnya adalah sebuah public sphere
yang semestinya dijaga dari berbagai pengaruh dan kepentingan.[9]
Dalam artian media selayaknya menjadi “The Market Palces of Ideas”
tempat penawaran berbagai gagasan sebagaimana setiap konsep pasar, yang mana
hanya ide terbaik sajalah yang pantas dijual dan ditawarkan.
1. Watak Peradaban Konsumeris
Media sangat berpengaruh terhadap pembentukan watak
sebuah sebuah peradaban, berikut dapat kita spesifikan beberapa media yang
dengan karakternya dapat membentuk cara pandang, ideologi, serta watak
masyarakat, diantaranya adalah :
a)
Membaca Film
Film
merupakan salah satu pilar bangunan estetika postmodern selain televisi dan
media seni lainnya. Melalui film, prinsip dan nilai estetika, teori dan
keyakinan kebudayaan postmodern tampil secara utuh sekaligus memikat. Lewat
film, prinsip-prinsip kebudayaan postmodern dapat dibaca dengan mudah. Lewat
film pula paradigma kebudayaan postmodern ditebar ke seluruh penjuru dunia.
Sebagai produk budaya massa, film merangkum dalam dirinya kemampuan menjelajah
setiap sudut dan ruang yang ada, menciptakan ruang estetika seni tersendiri dan
menanamkan pelbagai nilai dan pandangan hidup. Film adalah komoditi, seni dan
sekaligus ideologi.
Dalam
kerangka seperti inilah film postmodern mendapatkan dirinya. Film postmodern
adalah komoditi, seni dan sekaligus juga ideologi, yakni ideologi
postmodernisme. Sebagai komoditi, film postmodern merupakan bagian dari budaya
massa dan budaya populer yang disodorkan oleh kapitalisme. Film adalah tidak
semata karya seni, namun juga komoditi barang dagangan yang sama dengan
komoditi lainnya, ditujukan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Sebagai
produk seni, film adalah hasil cipta dan kreatifitas seniman yang ditampilkan
dalam bentuk gambar dan citra-citra bergerak. Film postmodern bergumul dengan
pelbagai prinsip, teori dan model-model estetika seni postmodern yang ada untuk
digunakan sebagai media kreatifitas. Sebagai karya seni, film postmodern
mencoba menjelajah ruang-ruang kreatifitas estetik baru yang masih tersisa.
Sementara sebagai ideologi, film postmodern tampil untuk menyuarakan
prinsip-prinsip, nilai-nilai dan keyakinan wacana postmodernisme. Dengan peran
demikian, film postmodern membawakan ciri-ciri dan karakteristik yang berbeda
dengan film-film di era modernisme.
Dalam
salah satu bagian dalam bukunya, An Introduction to Theories of Popular Culture
(1995), Dominic Strinati menyatakan bahwa salah satu karakter menonjol
film-film postmodern adalah sifatnya yang mengedepankan penampakan, tampilan
gambar-suara, citra-citra, gaya dan teknik-teknik khusus (special effects),
ketimbang materi cerita, karakterisasi, alur narasi atau pun realitas sosial
(Strinati, 1995: 229). Dibaca dari perspektif ini, film-film postmodern seolah
menyuarakan pergeseran prinsip ekonomi politik seperti dikemukakan Baudrillard.
Merujuk Baudrillard, dalam realitas kebudayaan dewasa ini prinsip nilai-guna
dan nilai-tukar telah digantikan kedudukannya oleh nilai-tanda dan
nilai-simbol. Penampakan, penampilan, simbol status, citra-citra dan tanda
lebih utama ketimbang makna, isi dan kedalaman. Film postmodern, berbeda dengan
film-film modern, tidak lagi berpretensi menemukan makna-makna, ataupun
merefleksikan kondisi sosial, melalui cerita, penokohan ataupun narasinya.
Daripada bersikap heroik demikian, film postmodern memilih untuk sekedar
bermain-main dengan gaya-gaya, citra-citra, media dan tanda-tanda yang ada.
Film postmodern secara sadar mengeksploitasi kemungkinan-kemungkinan
penjelajahan estetik sebagai kekuatan dan daya tariknya. Di satu sisi,
film-film postmodern sadar akan kedudukannya sebagai komoditi, yang tak lebih
dari barang dagangan, yang menuntutnya untuk memenuhi kebutuhan hukum
kapitalisme akan keuntungan. Namun di sisi lain, film-film postmodern sekaligus
ingin membuka cakrawala estetika baru dengan memanfaatkan kesempatan yang diberikan
untuk bereksperimen.
Gema
pemikiran postmodern Baudrillard tentang dominannya nilai-tanda dan
nilai-simbol ini misalnya dapat ditemukan pada film-film seperti Dick Tracy
(1990) ataupun Batman (1993). Diangkat dari cerita komik, kedua film ini secara
jelas mengedepankan prinsip penampakan ketimbang materi cerita, gaya dan
citra-citra ketimbang makna dan realitas sosial. Film Dick Tracy dan Batman
menampilkan realitas komik dalam film hero-detektif tahun 1940-an melalui
karakterisasi non-human, futuristic-setting, pencahayaan yang berlebih dan
vulgar, special effects yang dahsyat, musik populer dan pengaturan alur cerita
yang sederhana. Film dalam pengertian ini, menjadi tak lebih sebatas hiburan.
Makna, kedalaman dan realitas sosial sama sekali tak lagi diperhitungkan.
b)
Membaca Televisi
Television
is the word (Baudrillad, 1987: 32). (Televisi adalah dunia).
Dalam
derap gemuruh budaya massa dan budaya populer dewasa ini tak ayal televisi
adalah artefak simbolis postmodernisme paling representatif dan berpengaruh.
Televisi memuat segala karakter dunia postmodernisme: reproduksi, manipulasi,
simulasi, simulacra, bujuk-rayu (seduction) dan hiperrealitas, dalam
penampilannya yang paling menawan dan menggiurkan.
Dalam
televisi, realitas dikdmas dan dijadikan komoditi (tontotan), ruang dan waktu
dilipat dalam satu dimensi (kekinian), serta etika dan moralitas dibaurkan
dengan kecabulan dan brutalitas: sebuah dunia postmodern. Mengutip Bryan S.
Turner, (Televisi adalah dunia yang sebenarnya dari kebudayaan postmodern,
dengan hiburan sebagai ideologinya, tontonan sebagai tanda emblematic
komoditasnya, iklan gaya hidup sebagai psikologi populernya, tayangan serial
yang kosong sebagai pengikat yang menyatukan simulacrum para penontonnya,
citra-citra elektronik sebagai sifatnya yang paling dinamis, dan wujud ikatan
sosial, media politik tingkat tinggi sebagai formula ideologisnya, aktivitas
jual-beli abstrak sebagai dasar rasionalitas pasarnya, sinisme sebagai tanda
budayanya yang dominan, dan penyebaran jaringan kekuasaan yang saling
berhubungan sebagai produknya yang utama).
Dunia
televisi, seperti diungkapkan Baudrillard, menjadi sebuah dunia dimana realitas
dan pelbagai hal melebur, dan segalanya dilipat dalam sebidang kotak layar
kaca. Lebih dari era-era sebelumnya, televisi kini mampu menghadirkan
informasi, hiburan dan mimpi pada saat yang sama secara seketika. Perang di
wilayah Teluk Persia, kampanye presiden Amerika, demonstrasi mahasiswa di
Jakarta, kelaparan dan bencana alam di Sudan, bertubrukan dengan tayangan opera
sabun Dallas, konser musik Madonna, film kartun Mickey Mouse dan talk show
Oprah Winfrey, dan semuanya kini dapat dinikmati pada saat yang sama hanya
dengan menekan tombol remote control.
Televisi
dengan kemampuan teknologisnya, merupakan ruang yang dipilih untuk menancapkan
nilai-nilai semu tersebut. Dalam ruang semu televisi dengan tayangan berkedok
informasi dan hiburan penonton tidak lagi sadar bahwa dirinya tengah menjadi
objek indoktrinasi.
Bahkan,
proses indoktrinasi nilai, tema dan identitas diri itu sendiri dirasakan dan
dialami sebagai sebuah kenikmatan. Sifat simulasi dalam media televisi telah
mampu menyuntikkan makna-makna yang seolah-olah ada pada pada kehidupan nyata,
meskipun sebenarnya hanyalah sebuah fantasi, sebuah realisme semu. Film,
berita, telenovela, videoclip, iklan, tayangan olahraga, talk show ataupun
tayangan kesenian tradisional, dialami sebagai tontonan yang semata untuk
dinikmati tanpa harus bersusah payah berpikir kritis. Dalam ruang semu
televisi, penonton seolah didaulat sebagai subjek otonom yang dapat memilih,
memindah atau menyeleksi suguhan apa yang akan ditontonnya. Ia dapat
memindah-memindah dan menciptakan realitas dari tayangan yang satu ke tayangan
yang lain tanpa adanya referensi tunggal yang saling berkaitan. Dari berita
politik tentang Pemilu di Rusia, ke telenovela Meksiko, berpindah lagi ke film
drama Inggris yang bersetting abad ke-18 M, kemudian ke tayangan videoclip
Michael Jackson, lalu kelaparan di Irian Jaya dan seterusnya. Ruang dan waktu
seolah terlipat dalam sebuah kotak kaca yang bernama televisi. Sifat
fragmentasi dalam dunia semu televisi inilah dunia yang terpotong-potong,
pendek-pendek, berubah dan berpindah yang menjadikan para penontonnya terbuai
oleh mitos tentang subjek yang otonom. Padahal, menurut Baudrillard, semua ini
hanyalah mistifikasi yang dijejalkan ideologi kapitalisme demi produksi dan
konsumsi. Kebenaran yang sesungguhnya, bahwa pilihan dan otonomi penonton
televisi sebenarnya tak lebih dari pilihan semu. Otonomi yang dibatasi dan
diatur oleh pilihan yang sudah ada (Baudrillard, 1987: 16).
Kehadiran
televisi pada gilirannya menjadi sebuah mekanisme kontrol social yang ampuh.
Televisi memiliki satu kekuasaan untuk mengontrol dan memastikan bahwa massa
penontonnya dapat diatur jadwal aktivitasnya (misal, bila ingin menonton acara
sepakbola dini hari, maka tidurlah di siang harinya), bahwa mereka tidak lagi
dapat bercengkerama satu sama lain seakrab dahulu, karena massa penonton
terisolasi dalam wacana yang tanpa respon (Piliang, 1998: 237). Dalam
pengertian ini, sifat totalitas televisi telah menjadikannya sebagai suatu
bentuk kekuasaan baru dalam suatu komunitas. Kini, bukan lagi televisi yang
menjadi cermin masyarakat, melainkan sebaliknya masyarakatlah yang menjadi
cermin televisi. Citra-citra yang ditawarkan televisi telah membentuk
ketidaksadaran massal, bahwa telah terjadi pembentukan identitas diri melalui
televisi. Inilah dunia hiperrealitas dalam terminologi Baudrillard, sebuah
dunia buatan yang justru lebih nyata dan real dibanding realitas yang
sebenarnya (Baudrillard, 1988: 22).
Akhirnya
Baudrillard menyatakan bahwa dalam wacana televisi telah terjadi peleburan
bahkan penghancuran ruang publik dan ruang pribadi. Ruang publik dan ruang
pribadi telah menyatu dalam suatu ruang baru: ruang hiperrealitas televisi
(Baudrillard, 1987: 77). Kini tidak ada lagi batas yang jelas antara kamar
tidur dan arena drive in atau taman kota. Semuanya ditembus dan dijangkau
televisi. Berita tentang perang, kekeringan, tayangan iklan, lagu baru,
kekacauan Pemilu, ataupun film kartun dari segala penjuru dunia kini langsung
menyelusup ke kamar paling pribadi, menyentuh tubuh, hati dan kesadaran kita,
bahkan tanpa perantara. Televisi lalu seolah menjelma menjadi Ratu Adil yang
memberikan semacam demokratisasi informasi bagi siapapun, kapanpun dan
dimanapun. Karakter khas televisi ini tak ubahnya seperti Dewa Janus, yang
berwajah ganda. Pada sisi wajahnya yang satu, ia disebut secara negatif sebagai
Tabung kebodohan yang menawarkan mimpi. Sementara pada sisi wajahnya yang lain,
ia disebut secara positif sebagai Panduan baru, jendela untuk melihat dunia.
c)
Membaca Iklan
Iklan
memainkan peran dominan dalam kehidupan kita dewasa ini. Sebagai anak cucu
kapitalisme, iklan hadir kapanpun dan dimanapun dan menjadi kebutuhan kita
sehari-hari. Melalui televisi, radio, film, billboard, media cetak, spanduk
sampai internet, iklan mengepung dan menguasai kesadaran kita. Ia merayu,
membius dan memaksa kita untuk mengkonsumsi. Tanpa sadar kita pun hanyut dalam
sebuah dunia dengan budaya baru: budaya konsumer. Dalam masyarakat konsumer
seperti ini, konsumsi menjadi sebuah kosakata baru yang dominan dan mengambil
alih kedudukan produksi. Kita pun terpukau dengan godaan ideologi iklan yang
selalu menyerbu Beli lebih banyak, miliki lebih banyak dan nikmati lebih banyak
(Ewen, 1989: 57). Iklan, mengutip Sut Jhally dalam tulisannya, Advertising
as Religion: The Dialectic of Technology and Magic (1989), bahkan telah
menggeser peran agama dalam memberi pengertian tentang kebahagiaan dan
kehormatan diri. Dengan iklan kita dihibur, diberi semangat, harapan dan
identitas diri. Dengan iklan pula kita didorong atau dilarang untuk berbuat
sesuatu. Singkat kata, iklan benar-benar telah menjadi legislator yang
menghalalkan dan mengharamkan sesuatu, fungsi yang pada awalnya dibawakan agama
(Jhally, 1989: 225).
Dalam
masyarakat konsumer, individu dinilai dari apa xang ia miliki. Seseorang
dipandang berhasil, bernilai dan berkualitas dari kemampuannya mengkonsumsi.[10]
Semakin banyak ia mengkonsumsi, semakin tinggi kedudukannya dalam masyarakat
konsumer. Pada titik inilah iklan mengambil peran sebagai media informasi
pelbagai kebutuhan konsumsi. Dengan kemampuan membangun citra melalui tanda,
idiom, simbol dan kode produk komoditi yang bersilang-sengkarut, iklan menggoda
kita untuk mengkonsumsi.
Lebih
dari masa-masa sebelumnya, iklan kini tidak lagi berfungsi sekedar sebagai
media aktivitas konsumsi, penyampai pesan tentang produk-produk, namun bahkan
lebih jauh berperan sebagai pencipta dan pembentuk realitas. Inilah saat ketika
iklan hidup dalam realitas kebudayaan baru, era postmodern. Iklan bersama
televisi, sebagai representasi ruang simulacra dan hiperrealitas kini telah
menjadi acuan dan model citra diri, gaya hidup dan struktur masyarakat
(Baudrillard, 1983: 61). Dengan kata lain, iklan dan televisilah yang membentuk
realitas dan bukan sebaliknya.
iklan
adalah representasi pelbagai karakter masyarakat simulasi. Iklan bersifat nyata
sekaligus semu, menawarkan sekaligus memanipulasi, real sekaligus hiperreal,
simbolis sekaligus superfisial. Iklan adalah juga campur aduk antara citra,
tanda, simbol, idiom dan kode-kode pelbagai budaya. Dalam iklan, seperti halnya
dalam kebanyakan bentuk budaya populer musik, film, televisi, video game, video
clip, pakaian, kartun, komik, model rambut, aksesoris, gaya hidup, cara bicara,
cara berdandan, cara makan, bahan gurauan dan idiom-idiom populer yang
dipersoalkan bukanlah makna dan kedalaman melainkan penampilan dan kenyamanan.
2)
Analisis Indepensi Media
Mencoba menganalisis tentang independensi media, dimulai dari arti peran
dan fungsi itu sendiri, dibawah ini akan penulis uraiakan :
Media massa sendiri dalam masyarakat mempunyai
beberapa fungsi sosial, yaitu fungsi pengawasan sosial, fungsi interpretasi,
fungsi transmisi nilai dan fungsi hiburan.
1.
Fungsi pengawasan media adalah
fungsi yang khusus menyediakan informasi dan peringatan kepada masyarakat
tentang apa saja di lingkungan mereka. Media massa meng-up date
pengetahuan dan pemahaman manusia tentang lingkungan sekitarnya.
2.
Fungsi interpretasi adalah fungsi
media yang menjadi sarana memproses, menginterpretasikan dan mengkorelasikan
seluruh pengetahuan atau hal yang diketahui oleh manusia.
3.
Fungsi transmisi nilai adalah
fungsi media untuk menyebarkan nilai, ide dari generasi satu ke generasi yang
lain.
4.
Fungsi hiburan adalah fungsi media
untuk menghibur manusia. Manusia cenderung untuk melihat dan memahami peristiwa
atau pengalaman manusia sebagai sebuah hiburan.
Dalam perkembangan selanjutnya, media massa mempunyai
fungsi-fungsi baru, yaitu membentuk komunitas dan komunikasi virtual, seperti
halnya kelompok internet di dunia maya. Internet dapat dipahami sebagai alat
atau media umum yang bisa secara komplet memenuhi fungsi media massa “tua”.
Internet bisa menyempurnakan transaksi komersial, menyediakan dukungan sosial dan
mengirim jasa pemerintahan.
Dalam media ada berita. Berita sendiri berpengaruh
pada masyarakat. Pengaruh itu adalah:
a.
Agenda setting adalah pemahaman
bahwa berita mempengaruhi agenda publik yang secara rutin diberitakan oleh
media massa.
b.
Gatekeeping: media bisa menjadi
penjaga informasi atau penyaring informasi yang ditujukan kepada masyarakat.
c.
Framing terjadi ketika media massa
membingkai beberapa isu yang ditonjolkan oleh media kepada masyarakat.
Dengan berapa fenomena di atas, terdapat beberapa
kontroversi yang menyatakan bahwa media massa pada dasarnya bias. Hanya memang
masalah bias selalu berada dalam diskusi panjang mengenai masalah objektivitas
dalam sebuah media massa.
Difusi inovasi adalah pemikiran yang melihat bahwa
media massa berkontribusi atas seluruh pembaruan dan inovasi yang berkembang
dalam masyarakat. Difusi inovasi akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan
masyarakat memahami dan menyadari masalah kemajuan dalam masyarakat itu
sendiri.
Teknologi disadari sebagai alat kemajuan apabila
memberikan kontribusi konkret atas masyarakat. Persebaran inovasi bisa dimulai
dari tingkat pengetahuan atau idea baru dari media Ada proses penyerapan
teknologi dari masyarakat. Selanjutnya masyarakat menyaring teknologi tersebut
apakah memang inovasi tersebut bermanfaat. Dari pemahaman dan penyaringan
tersebut, masyarakat mengadopsi teknologi atau tidak.
Perkembangan media massa modern tidak terelakkan.
Perkembangan yang pelan tapi diakhiri dengan akselerasi perkembangan yang luar
biasa. Tapi dalam perkembangan selanjutnya, perkembangan teknologi komunikasi
harus diikuti dengan pemahaman yang layak pemakai atas teknologi itu sendiri.
Ada beberapa yang beranggapan bahwa perkembangan masyarakat sangat ditentukan
oleh perkembangan teknologi komunikasi itu sendiri. Itulah determinisme
teknologi. Ada beberapa asumsi:
a.
Medium is the message, adalah
pemahaman bahwa media massa memang membentuk kebudayaan. Bentuk media massa
berpengaruh dan bernilai dalam membentuk pola pikir manusia.
b.
Teknologi adalah kekuatan dominan.
Pada dasarnya, sistem sosial dan ekonomi mempromosikan teknologi dan
mendominasi kebudayaan.
c.
Media massa mendorong kebudayaan.
Hemat penulis secara umum, media harus berperan aktif
dalam penyampaiaan informasi secara obyektif mungkin. Obyektif disini dimaknai
dengan segala bentuk hiburan harus diarahkan pada edukatif. Sehingga
pembentukan opini publik tidak sepenuhnya dikendalikan oleh pemodal.
Sebaliknya masyarakat pun disini, juga harus bisa
memfilter hasil dari empirikelnya, sehingga pesan informasi emperis yang
didapat tidak semerta-merta dicernah tekstual.
PENUTUP
Dari uraian makalah diatas dapat disimpulkan beberapa pointer-pointer
penting di dalamnya, diantaranya adalah :
Media secara umum dapat
diartikan sebagai perantara, wahana, penengah atas segalah informasi (fenomena,
kejadian, fakta), namun bila dilihat dari ilmu komunikasi sosial dapat dimaknai
dengan suatu proses interaksi di mana seseorang atau lembaga menyampaikan
amanat kepada pihak lain supaya pihak lain dapat menangkap maksud yang
dikehendaki penyampai
1. Era Kolonialisme
(Penjajahan)
Media massa nasional milik pribumi lahir pada era
kolonial. Kemunculan Medan Prijaji pada 1907 menjadi tonggak
bangkitnya media massa nasional. Media massa yang dominan kala itu adalah media
milik Belanda yang melayani kebutuhan pemodal yakni para pemilik pabrik gula.
2.
Era Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, ideologi pembebasan dan
perjuangan kelas ini beralih. Dengan berlakunya demokrasi liberal di Indonesia,
banyak bermunculan media massa terbitan partai-partai politik. Masing-masing
media berusaha menghadirkan realitas dengan cara pandang atau ideologinya.
ideologi media–yang saat itu didominasi kepentingan politikus—berganti. Media
diarahkan sepenuhnya menjadi alat propagada pemerintah,sebagai ideologi
dominan. Ideologi media diarahkan menjadi seragam.
3.
Era Orde Baru
Keadaan tak jauh beda pada masa Orde Baru. Media masih
menjadi alat propaganda kebijakan pemerintah. Pengendalian media massa bukan
semata-mata untuk menguasai media tersebut, melainkan untuk menguasai alam
pikiran masyarakat tersebut
4.
Era Reformasi
Masa
Reformasi menjadi tiang pancang kebebasan media massa Indonesia. Jatuhya Orde
Baru dan pencabutan pemberlakuan SIUPP berdampak pada perkembangan corak
ideologi media. Kebebasan pers membuka peluang bagi terciptanya media yang
berorientasi pada masyarakat (civil centered).
Dalam
era reformasi, kebebasan pers membuka ruang bagi kelompok-kelompok masyarakat
untuk bertarung bebas. Pendekatan semacam ini tentunya patut dikritisi.
Masyarakat memang tak lagi dicengkeram kediktatoran penguasa, akan tetapi media
di dominasi kelompok elit pemilik modal. Media menjadi alat kelompok dominan
untuk memanipulasi dan mengukuhkan kehadirannya sembari memarjinalkan kelompok
minoritas.
Era modirnisme dan post
modernisme benar mempengaruhi pergeseran independensi media dalam membentuk
opini publik/edukatif, dalam hal ini kapitalisme benar-benar menghegomoni media
untuk memproduk watak perdaban masyarakat yang konsumeris melalui media masa
maupun elektronik. Dengan gaya penyampaian informasi yang mengkonstruk ideologi
masyarakat pada titik kapitaliasasi yang klimaks, sehingga dalam hal ini
pemodal yang bermain dalam membentuk opini publik.
Daftar
Pustaka
Dahlan. M, Kamus
Modern Bahasa Indonesia, Jogjakarta: Arkola, 1994
Siregar, Ashadi. “Media Pers dan Negara: keluar dari
Hegemoni” dalam Komunikasi, Negara, dan
Masyarakat., Nunung Prajarto (ed). Yogyakarta : Fisipol UGM,
2004
Ritzer
George, Teori Sosiologi Modern,Jakarta, Kencana, 2008[1]
Maulana Rizky, Kamus Pelajar Bahasa Indonesia, Surabaya: Lima Bintang,
2001), hal, 267
Liliweri,
Alo, Memahami Peran Komunikasi Massa Dalam Masyarakat, Bandung:Citra
Aditya Bakti, 1991
Effendy,
Onong, Uchjana, Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktik. Cetakan ke Delapan.
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994
Suryomiharjo, abdurahman, Beberapa Segi Pekembangan
Sejarah Pers di Indonesia. Jakarta : Kompas, 2002
Sarjono R
Agus, Pembebasan Budaya-budaya Kita, Jakarta : Gramedia Pustaka, 1999
Sudibyo, Agus, “Absennya Pendekatan Ekonomi Politik untuk
Studi Media” dalam Komunikasi, Negara, dan Masyarakat.,
Nunung Prajarto (ed). Yogyakarta : Fisipol UGM, 2004
Marpaung Tegar, Pers Indonesia Pasca reformasi (antara
kebebasan , tantangan dan harapan),
Yogyakarta : Media Pressindo, 2007
Baudrillard, Jean P, Masarakat
Konsumsi. Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2004
[1] Maulana
Rizky, Kamus Pelajar Bahasa Indonesia, (Surabaya: Lima Bintang, 2001),
hal, 267
[2]
Liliweri, Alo, Memahami Peran Komunikasi Massa Dalam Masyarakat,
(Bandung:Citra Aditya Bakti, 1991), hal, 75
[3]
Effendy, Onong, Uchjana, Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktik. Cetakan ke
Delapan. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hal, 13
[4] Suryomiharjo, abdurahman, Beberapa Segi
Pekembangan Sejarah Pers di Indonesia. Jakarta : Kompas, 2002, hal, 47
[5] Op.Cit,
Siregar, Ashadi, hal, 115
[6] Sarjono
R Agus, Pembebasan Budaya-budaya Kita, (Jakarta : Gramedia Pustaka,
1999), hal, 148
[7] Sudibyo, Agus, “Absennya Pendekatan Ekonomi
Politik untuk Studi Media” dalam Komunikasi, Negara, dan
Masyarakat., Nunung Prajarto (ed). Yogyakarta : Fisipol UGM, 2004, hal, 68
[8] Marpaung Tegar, Pers Indonesia Pasca reformasi
(antara kebebasan , tantangan dan harapan),
(Yogyakarta : Media Pressindo, 2007), hal, 99
[9] Op.Cit, Teori
Sosiologi Modern, hal, 580
Belum ada tanggapan untuk "MEDIA DAN ICON WATAK PERADABAN"
Post a Comment