MEDIA DAN ICON WATAK PERADABAN


"Telaah Kritis  Media dab icon peradaban Mendobrak Masyarakat Konsumtif "
Media adalah sarana, alat komunikasi bagi masyarakat; yang terletak di antara dua pihak atau sebagai perantara, dan penghubung.[1]  Media sebagai alat komunikasi yang efektif bagi perkembangan kehidupan manusia, dari madia lah informasi dapat dengan mudah diakses oleh manusia.
Seiring dengan kemajuan teknologi, media menjadi seuatu yang tidak dapat ditinggalkan manusia. Bahkan, hari ini media sudah digenggaman tangan, semua informasi dapat diakses dengan mudah kapanpun berada.
komunikasi itu mengandung pengertian sebagai suatu proses men-transmit/memindahkan kenyataan-kenyataan, keyakinan-keyakinan, sikap-sikap, reaksi-reaksi emosional, misalnya marah, sedih, gembira atau mungkin kekaguman atau yang menyangkut kesadaran manusia. Pemindahan tersebut berlangsung antara manusia satu kepada yang lainnya. Jadi, jelas bagi sosiologi komunikasi itu tidak sekadar berisi informasi yang dipindah-pindahkan dari seseorang kepada yang lainnya, melainkan juga meliputi ungkapan-ungkapan perasaan yang pada umumnya dialami oleh umat manusia yang hidup di dalam masyarakat.
Lingkungan komunikasi, setidak-tidaknya mempunyai 3 dimensi, yaitu dimensi fisik, dimensi sosial psikologis, dan dimensi temporal. Ketiga dimensi tersebut sering kali bekerja bersama-sama dan saling berinteraksi, dan mempunyai pengaruh terhadap berlangsungnya komunikasi.
Proses adalah suatu rangkaian aktivitas secara terus-menerus dalam kurun waktu tertentu. Yang dimaksud dengan kurun waktu tertentu itu memang relatif. Dia bisa pendek, tetapi bisa juga panjang/lama, hal tersebut sangat tergantung dari konteksnya. Proses komunikasi secara primer adalah komunikasi yang dilakukan secara tatap muka, langsung antara seseorang kepada yang lain untuk menyampaikan pikiran maupun perasaannya dengan menggunakan simbol-simbol tertentu, misalnya bahasa, kial, isyarat, warna, bunyi, bahkan bisa juga bau.
Di antara simbol-simbol yang dipergunakan sebagai media dalam berkomunikasi dengan sesamanya, ternyata bahasa merupakan simbol yang paling memadai karena bahasa adalah simbol representatif dari pikiran maupun perasaan manusia. Bahasa juga merupakan simbol yang produktif, kreatif dan terbuka terhadap gagasan-gagasan baru, bahkan mampu mengungkapkan peristiwa-peristiwa masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.[2]
Proses komunikasi secara sekunder adalah komunikasi yang dilakukan dengan menggunakan alat/sarana sebagai media kedua setelah bahasa. Komunikasi jenis ini dimaksudkan untuk melipatgandakan jumlah penerima informasi sekaligus dapat mengatasi hambatan-hambatan geografis dan waktu. Namun, harap diketahui pula bahwa komunikasi jenis ini hanya efektif untuk menyebarluaskan pesan-pesan yang bersifat informatif, bukan yang persuasif. Pesan-pesan persuasif hanya efektif dilakukan oleh komunikasi primer/tatap muka.
Komunikasi sosial ialah suatu proses interaksi di mana seseorang atau lembaga menyampaikan amanat kepada pihak lain supaya pihak lain dapat menangkap maksud yang dikehendaki penyampai. Unsur-unsur dalam komunikasi sosial, yaitu komunikator (pihak yang memulai komunikasi), amanat (hal-hal yang disampaikan dapat berupa perintah, kabar, buah pikiran, dan sebagainya), media (daya upaya yang dipakai untuk menyampaikan amanat kepada penerima), komunikan (orang atau satuan orang-orang yang menjadi sasaran komunikasi), dan tanggapan (respons) adalah tujuan yang diharapkan oleh komunikator).[3]



A.     Sejarah Ideologi Media di Indonesia
Membaca akar sejarah dan ideologi media di indonesia, tentu akan kita temukan banyak sekali ideologi yang berbeda dari masing-masing eranya, dimulai dari era kolonialisme media pribumi khususnya sangat dibatasi oleh para penjajah untuk menyampaikan atau menginformasikan prihal informasi kepada publik. begitu pula dengan era orde lama, media yang sarat dengan partai-partai politik, sehingga dapat dikatakan pada`era ini pembentukan opini publik sangat erat dengan penyampaian ideologi partai politik untuk mengelabuhi masyarakat. Akan jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada era orde baru, media ditutup rapa-rapat oleh pemerintahan, sehingga pada era ini dapat disebut dengan era matinya kebebasan pers. Menunju pada era reformasi, media sudah dapat sepenuhnya melakukan penggalian dan penyampaian media dengan sebebas-bebasnya. Namun, regulasi pemilik modal pada era ini sangatlah kental, sehingga tidak dapat dipungkiri bila terjadi pembentukan opini publik sesuai dengan request pemodal yang berduit banyak.
Untuk selebihnya, akan dijabarkan sejarah dan ideologi media dimasing-masing era kepemrintahan, sebagaimana berikut :
1)      Era Kolonialisme (Penjajahan)
Media massa nasional milik pribumi lahir pada era kolonial. Kemunculan Medan Prijaji pada 1907 menjadi tonggak bangkitnya media massa nasional[4]. Media massa yang dominan kala itu adalah media milik Belanda yang melayani kebutuhan pemodal yakni para pemilik pabrik gula. Minimnya akses dan pemberitaan yang memihak pribumi, membuat R.M. Tirto Adisuryo merasa perlu menerbitkan media nasional milik pribumi. Media massa pribumi yang berkembang selanjutnya tak lepas dari semangat perjuangan yang memihak kaum minoritas yakni pribumi. Media pribumi menjadi counter culture bagi media dominan saat itu. Media pribumi menawarkan cara pandang baru—persamaan dan kebebasan—dalam melihat relasi sosial masyarakat feodal pada masa itu
2)      Era Kemerdekaan
a)      Demokrasi Terpimpin (Orde Lama)
. Setelah Indonesia merdeka, ideologi pembebasan dan perjuangan kelas ini beralih. Dengan berlakunya demokrasi liberal di Indonesia, banyak bermunculan media massa terbitan partai-partai politik. Masing-masing media berusaha menghadirkan realitas dengan cara pandang atau ideologinya. Perang ideologi pun terjadi. Media dengan beragam cara mengemas realitas sedemikian rupa untuk mendapatkan konstituen sebanyak-banyaknya. Para politisi menjadi agen yang dominan dalam menentukan ideologi media.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menjadi titik balik riuh rendah perkembangan media Indonesia. Dengan berlakunya demokrasi terpimpin, ideologi media–yang dulu didominasi kepentingan politikus—berganti. Media diarahkan sepenuhnya menjadi alat propagada pemerintah,sebagai ideologi dominan. Ideologi media diarahkan menjadi seragam.
b)      Era Orde Baru
Keadaan tak jauh beda pada masa Orde Baru. Media masih menjadi alat propaganda kebijakan pemerintah. Pengendalian media massa bukan semata-mata untuk menguasai media tersebut, melainkan untuk menguasai alam pikiran masyarakat tersebut[5]. Untuk itu, ideologi selain ideologi pemerintah dilarang berkembang atas nama kestabilan pembangunan. Lewat Departemen Penerangan, Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan mekanisme pembredelan, pemerintah Orde Baru berusaha mengontrol ideologi media.
Realitas sosial masyarakat dibangun lewat repetisi pemberitaan yang mengarahkan cara pandang masyarakat pada keteraturan ala Orde baru. Masyarakat dikonstruksi agar menjadi permisif (taken for granted) terhadap kebijakan pemerintah.
c)      Era Reformasi
Masa Reformasi menjadi tiang pancang kebebasan media massa Indonesia. Jatuhya Orde Baru dan pencabutan pemberlakuan SIUPP berdampak pada perkembangan corak ideologi media. Kebebasan pers membuka peluang bagi terciptanya media yang berorientasi pada masyarakat (civil centered).
Pada era ini, media mampu menjadi wahana sosialisasi, diskursus, dan ajang tumbuh kembang budaya di masyarakat. Budaya dominan di masyarakat memungkinkan untuk ditantang dan dilawan dengan adanya kebebasan pers ini. James D. Hunter dalam Croteau, 1994 menyebutnya sebagai the culture wars.
Di sisi lain, celah regulator yang ditinggalkan pemerintah juga menjadi lahan subur bagi perkembangan pasar atau kapital. Menjamurnya institusi media membuka peluang pasar persaingan terbuka. Institusi media dengan kekuatan modal besar menggusur media bermodal pas-pasan. Mekanisme ini membentuk pola media massa Indonesia. Ideologi yang berbasis pasar menjadi ideologi yang dianut sebagian besar media massa Indonesia.
Para pemilik modal, sebagai penguasa pasar, menjadi pihak yang dominan dalam pembentukan ideologi media. Orientasi kebijakan media berkutat pada melayani kebutuhan pasar. Komersialisasi media menjadi kata kunci.[6]
Media menghadirkan kembali realitas dengan cara pandang atau ideologinya sendiri. Pada tahap ini media tak bisa lagi dimaknai sebagai institusi netral yang bebas kepentingan. Kebijakan yang diambil media menjadi indikator ideologi media apa yang diambil. Namun, perlu berhati-hati dalam menyimpulkan macam ideologi yang sedang diusung sebuah media. Kepentingan pasar dan kebebasan pers seringkali berkelindan sehingga tak jelas ujung pangkalnya.
Dalam era reformasi, kebebasan pers membuka ruang bagi kelompok-kelompok masyarakat untuk bertarung bebas. Pendekatan semacam ini tentunya patut dikritisi. Masyarakat memang tak lagi dicengkeram kediktatoran penguasa, akan tetapi media di dominasi kelompok elit pemilik modal. Media menjadi alat kelompok dominan untuj memanipulasi dan mengukuhkan kehadirannya sembari memarjinalkan kelompok minoritas[7].

B.     Peran Media dalam Konstruksi  Watak Peradaban
1)      Hegemoni dan Regulasi Pemilik Modal
Berbicara tentang media massa dalam hal ini media penyiaran Televisi maka kita akan dapat menarik garis besar kepemilikan yang berpusat pada segelintir orang. Dalam hal ini Trans7 dan Trans TV berada pada payung bisnis yang sama yakni Trans Corp yang dikuasai oleh Chairul Tanjung , Global TV, RCTI dan TPI bergabung dalam Group MNC dan bertindak selaku pemilik di Indonesia adalah hary Tanoesoedibyo, TV ONE dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group dengan Boss utama Abu Rizal bakrie, SCTV yang sebahagian besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja, dan yang terakhir Metro TV dengan pimpinannya yang termasyhur karena wajahnya sering ditampilkan oleh TV yang dimilikinya sendiri.
Singkat kata nama nama pemilik media yang disebutkan di atas tadi merupakan orang-orang yang membangun kerajaan bisnisnya dengan berupaya dekat dengan kekuasaan dan beberapa di antara ada yang duduk sebagai orang penting di pemerintahan serta ada pula yang merupakan Tokoh penting pada salah satu partai yang sekian lama berkuasa di republik Ini (baca Golkar). Tidak menutup kemungkinan mereka membangun Media untuk memuluskan kepentingannya dalam hal Perpolitikan dan penyebaran ideologi tertentu, melaui media.[8] Hal ini dapat dilihat dari wajah media yang mereka bentuk, di mana saat ini banyak media yang mengawal kepentingan penguasa seperti yang baru baru ini terlihat bagaiman televisi ramai ramai menyiarkan Rapimnas Partai Golkar padahal di sisi lain masih banyak agenda agenda penting lainnya yang harus diketahui oleh Publik seperti Penyelesaian Kasus lumpur lapindo yang sampai saat ini masih jauh dari kata “beres”. Padahal salah satu hak yang harus didapat masyarakat dari media adalah mereka mendapatkan Diversity Information.
Tentu saja Konglomerasi media ini sangat tidak sehat dalam iklim berdemokrasi dan perpolitikan bangsa bangsa ini mengingat pengaruh media yang begitu kuat terhadap kognitif khalayak. Jika mengacu pada Jurgen habemas menyatakan media massa sesungguhnya adalah sebuah public sphere yang semestinya dijaga dari berbagai pengaruh dan kepentingan.[9] Dalam artian media selayaknya menjadi “The Market Palces of Ideas” tempat penawaran berbagai gagasan sebagaimana setiap konsep pasar, yang mana hanya ide terbaik sajalah yang pantas dijual dan ditawarkan.
1.      Watak Peradaban Konsumeris
Media sangat berpengaruh terhadap pembentukan watak sebuah sebuah peradaban, berikut dapat kita spesifikan beberapa media yang dengan karakternya dapat membentuk cara pandang, ideologi, serta watak masyarakat, diantaranya adalah :
a)      Membaca Film
Film merupakan salah satu pilar bangunan estetika postmodern selain televisi dan media seni lainnya. Melalui film, prinsip dan nilai estetika, teori dan keyakinan kebudayaan postmodern tampil secara utuh sekaligus memikat. Lewat film, prinsip-prinsip kebudayaan postmodern dapat dibaca dengan mudah. Lewat film pula paradigma kebudayaan postmodern ditebar ke seluruh penjuru dunia. Sebagai produk budaya massa, film merangkum dalam dirinya kemampuan menjelajah setiap sudut dan ruang yang ada, menciptakan ruang estetika seni tersendiri dan menanamkan pelbagai nilai dan pandangan hidup. Film adalah komoditi, seni dan sekaligus ideologi.
Dalam kerangka seperti inilah film postmodern mendapatkan dirinya. Film postmodern adalah komoditi, seni dan sekaligus juga ideologi, yakni ideologi postmodernisme. Sebagai komoditi, film postmodern merupakan bagian dari budaya massa dan budaya populer yang disodorkan oleh kapitalisme. Film adalah tidak semata karya seni, namun juga komoditi barang dagangan yang sama dengan komoditi lainnya, ditujukan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Sebagai produk seni, film adalah hasil cipta dan kreatifitas seniman yang ditampilkan dalam bentuk gambar dan citra-citra bergerak. Film postmodern bergumul dengan pelbagai prinsip, teori dan model-model estetika seni postmodern yang ada untuk digunakan sebagai media kreatifitas. Sebagai karya seni, film postmodern mencoba menjelajah ruang-ruang kreatifitas estetik baru yang masih tersisa. Sementara sebagai ideologi, film postmodern tampil untuk menyuarakan prinsip-prinsip, nilai-nilai dan keyakinan wacana postmodernisme. Dengan peran demikian, film postmodern membawakan ciri-ciri dan karakteristik yang berbeda dengan film-film di era modernisme.
Dalam salah satu bagian dalam bukunya, An Introduction to Theories of Popular Culture (1995), Dominic Strinati menyatakan bahwa salah satu karakter menonjol film-film postmodern adalah sifatnya yang mengedepankan penampakan, tampilan gambar-suara, citra-citra, gaya dan teknik-teknik khusus (special effects), ketimbang materi cerita, karakterisasi, alur narasi atau pun realitas sosial (Strinati, 1995: 229). Dibaca dari perspektif ini, film-film postmodern seolah menyuarakan pergeseran prinsip ekonomi politik seperti dikemukakan Baudrillard. Merujuk Baudrillard, dalam realitas kebudayaan dewasa ini prinsip nilai-guna dan nilai-tukar telah digantikan kedudukannya oleh nilai-tanda dan nilai-simbol. Penampakan, penampilan, simbol status, citra-citra dan tanda lebih utama ketimbang makna, isi dan kedalaman. Film postmodern, berbeda dengan film-film modern, tidak lagi berpretensi menemukan makna-makna, ataupun merefleksikan kondisi sosial, melalui cerita, penokohan ataupun narasinya. Daripada bersikap heroik demikian, film postmodern memilih untuk sekedar bermain-main dengan gaya-gaya, citra-citra, media dan tanda-tanda yang ada. Film postmodern secara sadar mengeksploitasi kemungkinan-kemungkinan penjelajahan estetik sebagai kekuatan dan daya tariknya. Di satu sisi, film-film postmodern sadar akan kedudukannya sebagai komoditi, yang tak lebih dari barang dagangan, yang menuntutnya untuk memenuhi kebutuhan hukum kapitalisme akan keuntungan. Namun di sisi lain, film-film postmodern sekaligus ingin membuka cakrawala estetika baru dengan memanfaatkan kesempatan yang diberikan untuk bereksperimen.
Gema pemikiran postmodern Baudrillard tentang dominannya nilai-tanda dan nilai-simbol ini misalnya dapat ditemukan pada film-film seperti Dick Tracy (1990) ataupun Batman (1993). Diangkat dari cerita komik, kedua film ini secara jelas mengedepankan prinsip penampakan ketimbang materi cerita, gaya dan citra-citra ketimbang makna dan realitas sosial. Film Dick Tracy dan Batman menampilkan realitas komik dalam film hero-detektif tahun 1940-an melalui karakterisasi non-human, futuristic-setting, pencahayaan yang berlebih dan vulgar, special effects yang dahsyat, musik populer dan pengaturan alur cerita yang sederhana. Film dalam pengertian ini, menjadi tak lebih sebatas hiburan. Makna, kedalaman dan realitas sosial sama sekali tak lagi diperhitungkan.
b)      Membaca Televisi
Television is the word (Baudrillad, 1987: 32). (Televisi adalah dunia).
Dalam derap gemuruh budaya massa dan budaya populer dewasa ini tak ayal televisi adalah artefak simbolis postmodernisme paling representatif dan berpengaruh. Televisi memuat segala karakter dunia postmodernisme: reproduksi, manipulasi, simulasi, simulacra, bujuk-rayu (seduction) dan hiperrealitas, dalam penampilannya yang paling menawan dan menggiurkan.
Dalam televisi, realitas dikdmas dan dijadikan komoditi (tontotan), ruang dan waktu dilipat dalam satu dimensi (kekinian), serta etika dan moralitas dibaurkan dengan kecabulan dan brutalitas: sebuah dunia postmodern. Mengutip Bryan S. Turner, (Televisi adalah dunia yang sebenarnya dari kebudayaan postmodern, dengan hiburan sebagai ideologinya, tontonan sebagai tanda emblematic komoditasnya, iklan gaya hidup sebagai psikologi populernya, tayangan serial yang kosong sebagai pengikat yang menyatukan simulacrum para penontonnya, citra-citra elektronik sebagai sifatnya yang paling dinamis, dan wujud ikatan sosial, media politik tingkat tinggi sebagai formula ideologisnya, aktivitas jual-beli abstrak sebagai dasar rasionalitas pasarnya, sinisme sebagai tanda budayanya yang dominan, dan penyebaran jaringan kekuasaan yang saling berhubungan sebagai produknya yang utama).
Dunia televisi, seperti diungkapkan Baudrillard, menjadi sebuah dunia dimana realitas dan pelbagai hal melebur, dan segalanya dilipat dalam sebidang kotak layar kaca. Lebih dari era-era sebelumnya, televisi kini mampu menghadirkan informasi, hiburan dan mimpi pada saat yang sama secara seketika. Perang di wilayah Teluk Persia, kampanye presiden Amerika, demonstrasi mahasiswa di Jakarta, kelaparan dan bencana alam di Sudan, bertubrukan dengan tayangan opera sabun Dallas, konser musik Madonna, film kartun Mickey Mouse dan talk show Oprah Winfrey, dan semuanya kini dapat dinikmati pada saat yang sama hanya dengan menekan tombol remote control.
Televisi dengan kemampuan teknologisnya, merupakan ruang yang dipilih untuk menancapkan nilai-nilai semu tersebut. Dalam ruang semu televisi dengan tayangan berkedok informasi dan hiburan penonton tidak lagi sadar bahwa dirinya tengah menjadi objek indoktrinasi.
Bahkan, proses indoktrinasi nilai, tema dan identitas diri itu sendiri dirasakan dan dialami sebagai sebuah kenikmatan. Sifat simulasi dalam media televisi telah mampu menyuntikkan makna-makna yang seolah-olah ada pada pada kehidupan nyata, meskipun sebenarnya hanyalah sebuah fantasi, sebuah realisme semu. Film, berita, telenovela, videoclip, iklan, tayangan olahraga, talk show ataupun tayangan kesenian tradisional, dialami sebagai tontonan yang semata untuk dinikmati tanpa harus bersusah payah berpikir kritis. Dalam ruang semu televisi, penonton seolah didaulat sebagai subjek otonom yang dapat memilih, memindah atau menyeleksi suguhan apa yang akan ditontonnya. Ia dapat memindah-memindah dan menciptakan realitas dari tayangan yang satu ke tayangan yang lain tanpa adanya referensi tunggal yang saling berkaitan. Dari berita politik tentang Pemilu di Rusia, ke telenovela Meksiko, berpindah lagi ke film drama Inggris yang bersetting abad ke-18 M, kemudian ke tayangan videoclip Michael Jackson, lalu kelaparan di Irian Jaya dan seterusnya. Ruang dan waktu seolah terlipat dalam sebuah kotak kaca yang bernama televisi. Sifat fragmentasi dalam dunia semu televisi inilah dunia yang terpotong-potong, pendek-pendek, berubah dan berpindah yang menjadikan para penontonnya terbuai oleh mitos tentang subjek yang otonom. Padahal, menurut Baudrillard, semua ini hanyalah mistifikasi yang dijejalkan ideologi kapitalisme demi produksi dan konsumsi. Kebenaran yang sesungguhnya, bahwa pilihan dan otonomi penonton televisi sebenarnya tak lebih dari pilihan semu. Otonomi yang dibatasi dan diatur oleh pilihan yang sudah ada (Baudrillard, 1987: 16).
Kehadiran televisi pada gilirannya menjadi sebuah mekanisme kontrol social yang ampuh. Televisi memiliki satu kekuasaan untuk mengontrol dan memastikan bahwa massa penontonnya dapat diatur jadwal aktivitasnya (misal, bila ingin menonton acara sepakbola dini hari, maka tidurlah di siang harinya), bahwa mereka tidak lagi dapat bercengkerama satu sama lain seakrab dahulu, karena massa penonton terisolasi dalam wacana yang tanpa respon (Piliang, 1998: 237). Dalam pengertian ini, sifat totalitas televisi telah menjadikannya sebagai suatu bentuk kekuasaan baru dalam suatu komunitas. Kini, bukan lagi televisi yang menjadi cermin masyarakat, melainkan sebaliknya masyarakatlah yang menjadi cermin televisi. Citra-citra yang ditawarkan televisi telah membentuk ketidaksadaran massal, bahwa telah terjadi pembentukan identitas diri melalui televisi. Inilah dunia hiperrealitas dalam terminologi Baudrillard, sebuah dunia buatan yang justru lebih nyata dan real dibanding realitas yang sebenarnya (Baudrillard, 1988: 22).
Akhirnya Baudrillard menyatakan bahwa dalam wacana televisi telah terjadi peleburan bahkan penghancuran ruang publik dan ruang pribadi. Ruang publik dan ruang pribadi telah menyatu dalam suatu ruang baru: ruang hiperrealitas televisi (Baudrillard, 1987: 77). Kini tidak ada lagi batas yang jelas antara kamar tidur dan arena drive in atau taman kota. Semuanya ditembus dan dijangkau televisi. Berita tentang perang, kekeringan, tayangan iklan, lagu baru, kekacauan Pemilu, ataupun film kartun dari segala penjuru dunia kini langsung menyelusup ke kamar paling pribadi, menyentuh tubuh, hati dan kesadaran kita, bahkan tanpa perantara. Televisi lalu seolah menjelma menjadi Ratu Adil yang memberikan semacam demokratisasi informasi bagi siapapun, kapanpun dan dimanapun. Karakter khas televisi ini tak ubahnya seperti Dewa Janus, yang berwajah ganda. Pada sisi wajahnya yang satu, ia disebut secara negatif sebagai Tabung kebodohan yang menawarkan mimpi. Sementara pada sisi wajahnya yang lain, ia disebut secara positif sebagai Panduan baru, jendela untuk melihat dunia.
c)      Membaca Iklan
Iklan memainkan peran dominan dalam kehidupan kita dewasa ini. Sebagai anak cucu kapitalisme, iklan hadir kapanpun dan dimanapun dan menjadi kebutuhan kita sehari-hari. Melalui televisi, radio, film, billboard, media cetak, spanduk sampai internet, iklan mengepung dan menguasai kesadaran kita. Ia merayu, membius dan memaksa kita untuk mengkonsumsi. Tanpa sadar kita pun hanyut dalam sebuah dunia dengan budaya baru: budaya konsumer. Dalam masyarakat konsumer seperti ini, konsumsi menjadi sebuah kosakata baru yang dominan dan mengambil alih kedudukan produksi. Kita pun terpukau dengan godaan ideologi iklan yang selalu menyerbu Beli lebih banyak, miliki lebih banyak dan nikmati lebih banyak (Ewen, 1989: 57). Iklan, mengutip Sut Jhally dalam tulisannya, Advertising as Religion: The Dialectic of Technology and Magic (1989), bahkan telah menggeser peran agama dalam memberi pengertian tentang kebahagiaan dan kehormatan diri. Dengan iklan kita dihibur, diberi semangat, harapan dan identitas diri. Dengan iklan pula kita didorong atau dilarang untuk berbuat sesuatu. Singkat kata, iklan benar-benar telah menjadi legislator yang menghalalkan dan mengharamkan sesuatu, fungsi yang pada awalnya dibawakan agama (Jhally, 1989: 225).
Dalam masyarakat konsumer, individu dinilai dari apa xang ia miliki. Seseorang dipandang berhasil, bernilai dan berkualitas dari kemampuannya mengkonsumsi.[10] Semakin banyak ia mengkonsumsi, semakin tinggi kedudukannya dalam masyarakat konsumer. Pada titik inilah iklan mengambil peran sebagai media informasi pelbagai kebutuhan konsumsi. Dengan kemampuan membangun citra melalui tanda, idiom, simbol dan kode produk komoditi yang bersilang-sengkarut, iklan menggoda kita untuk mengkonsumsi.
Lebih dari masa-masa sebelumnya, iklan kini tidak lagi berfungsi sekedar sebagai media aktivitas konsumsi, penyampai pesan tentang produk-produk, namun bahkan lebih jauh berperan sebagai pencipta dan pembentuk realitas. Inilah saat ketika iklan hidup dalam realitas kebudayaan baru, era postmodern. Iklan bersama televisi, sebagai representasi ruang simulacra dan hiperrealitas kini telah menjadi acuan dan model citra diri, gaya hidup dan struktur masyarakat (Baudrillard, 1983: 61). Dengan kata lain, iklan dan televisilah yang membentuk realitas dan bukan sebaliknya.
iklan adalah representasi pelbagai karakter masyarakat simulasi. Iklan bersifat nyata sekaligus semu, menawarkan sekaligus memanipulasi, real sekaligus hiperreal, simbolis sekaligus superfisial. Iklan adalah juga campur aduk antara citra, tanda, simbol, idiom dan kode-kode pelbagai budaya. Dalam iklan, seperti halnya dalam kebanyakan bentuk budaya populer musik, film, televisi, video game, video clip, pakaian, kartun, komik, model rambut, aksesoris, gaya hidup, cara bicara, cara berdandan, cara makan, bahan gurauan dan idiom-idiom populer yang dipersoalkan bukanlah makna dan kedalaman melainkan penampilan dan kenyamanan.
2)      Analisis Indepensi Media
Mencoba menganalisis tentang independensi media, dimulai dari arti peran dan fungsi itu sendiri, dibawah ini akan penulis uraiakan :
Media massa sendiri dalam masyarakat mempunyai beberapa fungsi sosial, yaitu fungsi pengawasan sosial, fungsi interpretasi, fungsi transmisi nilai dan fungsi hiburan.
1.      Fungsi pengawasan media adalah fungsi yang khusus menyediakan informasi dan peringatan kepada masyarakat tentang apa saja di lingkungan mereka. Media massa meng-up date pengetahuan dan pemahaman manusia tentang lingkungan sekitarnya.
2.      Fungsi interpretasi adalah fungsi media yang menjadi sarana memproses, menginterpretasikan dan mengkorelasikan seluruh pengetahuan atau hal yang diketahui oleh manusia.
3.      Fungsi transmisi nilai adalah fungsi media untuk menyebarkan nilai, ide dari generasi satu ke generasi yang lain.
4.      Fungsi hiburan adalah fungsi media untuk menghibur manusia. Manusia cenderung untuk melihat dan memahami peristiwa atau pengalaman manusia sebagai sebuah hiburan.
Dalam perkembangan selanjutnya, media massa mempunyai fungsi-fungsi baru, yaitu membentuk komunitas dan komunikasi virtual, seperti halnya kelompok internet di dunia maya. Internet dapat dipahami sebagai alat atau media umum yang bisa secara komplet memenuhi fungsi media massa “tua”. Internet bisa menyempurnakan transaksi komersial, menyediakan dukungan sosial dan mengirim jasa pemerintahan.
Dalam media ada berita. Berita sendiri berpengaruh pada masyarakat. Pengaruh itu adalah:
a.       Agenda setting adalah pemahaman bahwa berita mempengaruhi agenda publik yang secara rutin diberitakan oleh media massa.
b.      Gatekeeping: media bisa menjadi penjaga informasi atau penyaring informasi yang ditujukan kepada masyarakat.
c.       Framing terjadi ketika media massa membingkai beberapa isu yang ditonjolkan oleh media kepada masyarakat.
Dengan berapa fenomena di atas, terdapat beberapa kontroversi yang menyatakan bahwa media massa pada dasarnya bias. Hanya memang masalah bias selalu berada dalam diskusi panjang mengenai masalah objektivitas dalam sebuah media massa.
Difusi inovasi adalah pemikiran yang melihat bahwa media massa berkontribusi atas seluruh pembaruan dan inovasi yang berkembang dalam masyarakat. Difusi inovasi akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan masyarakat memahami dan menyadari masalah kemajuan dalam masyarakat itu sendiri.
Teknologi disadari sebagai alat kemajuan apabila memberikan kontribusi konkret atas masyarakat. Persebaran inovasi bisa dimulai dari tingkat pengetahuan atau idea baru dari media Ada proses penyerapan teknologi dari masyarakat. Selanjutnya masyarakat menyaring teknologi tersebut apakah memang inovasi tersebut bermanfaat. Dari pemahaman dan penyaringan tersebut, masyarakat mengadopsi teknologi atau tidak.
Perkembangan media massa modern tidak terelakkan. Perkembangan yang pelan tapi diakhiri dengan akselerasi perkembangan yang luar biasa. Tapi dalam perkembangan selanjutnya, perkembangan teknologi komunikasi harus diikuti dengan pemahaman yang layak pemakai atas teknologi itu sendiri. Ada beberapa yang beranggapan bahwa perkembangan masyarakat sangat ditentukan oleh perkembangan teknologi komunikasi itu sendiri. Itulah determinisme teknologi. Ada beberapa asumsi:
a.       Medium is the message, adalah pemahaman bahwa media massa memang membentuk kebudayaan. Bentuk media massa berpengaruh dan bernilai dalam membentuk pola pikir manusia.
b.      Teknologi adalah kekuatan dominan. Pada dasarnya, sistem sosial dan ekonomi mempromosikan teknologi dan mendominasi kebudayaan.
c.       Media massa mendorong kebudayaan.
Hemat penulis secara umum, media harus berperan aktif dalam penyampaiaan informasi secara obyektif mungkin. Obyektif disini dimaknai dengan segala bentuk hiburan harus diarahkan pada edukatif. Sehingga pembentukan opini publik tidak sepenuhnya dikendalikan oleh pemodal.
Sebaliknya masyarakat pun disini, juga harus bisa memfilter hasil dari empirikelnya, sehingga pesan informasi emperis yang didapat tidak semerta-merta dicernah tekstual.



PENUTUP

Dari uraian makalah diatas dapat disimpulkan beberapa pointer-pointer penting di dalamnya, diantaranya adalah :
*      Media secara umum dapat diartikan sebagai perantara, wahana, penengah atas segalah informasi (fenomena, kejadian, fakta), namun bila dilihat dari ilmu komunikasi sosial dapat dimaknai dengan suatu proses interaksi di mana seseorang atau lembaga menyampaikan amanat kepada pihak lain supaya pihak lain dapat menangkap maksud yang dikehendaki penyampai
*      1. Era Kolonialisme (Penjajahan)
Media massa nasional milik pribumi lahir pada era kolonial. Kemunculan Medan Prijaji pada 1907 menjadi tonggak bangkitnya media massa nasional. Media massa yang dominan kala itu adalah media milik Belanda yang melayani kebutuhan pemodal yakni para pemilik pabrik gula.
2.      Era Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, ideologi pembebasan dan perjuangan kelas ini beralih. Dengan berlakunya demokrasi liberal di Indonesia, banyak bermunculan media massa terbitan partai-partai politik. Masing-masing media berusaha menghadirkan realitas dengan cara pandang atau ideologinya. ideologi media–yang saat itu didominasi kepentingan politikus—berganti. Media diarahkan sepenuhnya menjadi alat propagada pemerintah,sebagai ideologi dominan. Ideologi media diarahkan menjadi seragam.
3.      Era Orde Baru
Keadaan tak jauh beda pada masa Orde Baru. Media masih menjadi alat propaganda kebijakan pemerintah. Pengendalian media massa bukan semata-mata untuk menguasai media tersebut, melainkan untuk menguasai alam pikiran masyarakat tersebut
4.      Era Reformasi
Masa Reformasi menjadi tiang pancang kebebasan media massa Indonesia. Jatuhya Orde Baru dan pencabutan pemberlakuan SIUPP berdampak pada perkembangan corak ideologi media. Kebebasan pers membuka peluang bagi terciptanya media yang berorientasi pada masyarakat (civil centered).
Dalam era reformasi, kebebasan pers membuka ruang bagi kelompok-kelompok masyarakat untuk bertarung bebas. Pendekatan semacam ini tentunya patut dikritisi. Masyarakat memang tak lagi dicengkeram kediktatoran penguasa, akan tetapi media di dominasi kelompok elit pemilik modal. Media menjadi alat kelompok dominan untuk memanipulasi dan mengukuhkan kehadirannya sembari memarjinalkan kelompok minoritas.
*      Era modirnisme dan post modernisme benar mempengaruhi pergeseran independensi media dalam membentuk opini publik/edukatif, dalam hal ini kapitalisme benar-benar menghegomoni media untuk memproduk watak perdaban masyarakat yang konsumeris melalui media masa maupun elektronik. Dengan gaya penyampaian informasi yang mengkonstruk ideologi masyarakat pada titik kapitaliasasi yang klimaks, sehingga dalam hal ini pemodal yang bermain dalam membentuk opini publik.


Daftar Pustaka

Dahlan. M, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Jogjakarta: Arkola, 1994
Siregar, Ashadi. “Media Pers dan Negara: keluar dari Hegemoni” dalam Komunikasi, Negara, dan Masyarakat., Nunung Prajarto (ed). Yogyakarta : Fisipol UGM, 2004
Ritzer George, Teori Sosiologi Modern,Jakarta, Kencana, 2008[1] Maulana Rizky, Kamus Pelajar Bahasa Indonesia, Surabaya: Lima Bintang, 2001), hal, 267
Liliweri, Alo, Memahami Peran Komunikasi Massa Dalam Masyarakat, Bandung:Citra Aditya Bakti, 1991
Effendy, Onong, Uchjana, Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktik. Cetakan ke Delapan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994
Suryomiharjo, abdurahman, Beberapa Segi Pekembangan Sejarah Pers di Indonesia. Jakarta : Kompas, 2002
Sarjono R Agus, Pembebasan Budaya-budaya Kita, Jakarta : Gramedia Pustaka, 1999
Sudibyo, Agus, “Absennya Pendekatan Ekonomi Politik untuk Studi Media dalam Komunikasi, Negara, dan Masyarakat., Nunung Prajarto (ed). Yogyakarta : Fisipol UGM, 2004
Marpaung Tegar, Pers Indonesia Pasca reformasi (antara kebebasan , tantangan dan harapan),  Yogyakarta : Media Pressindo, 2007
Baudrillard, Jean P, Masarakat Konsumsi. Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2004




[1] Maulana Rizky, Kamus Pelajar Bahasa Indonesia, (Surabaya: Lima Bintang, 2001), hal, 267
[2] Liliweri, Alo, Memahami Peran Komunikasi Massa Dalam Masyarakat, (Bandung:Citra Aditya Bakti, 1991), hal, 75
[3] Effendy, Onong, Uchjana, Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktik. Cetakan ke Delapan. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hal, 13
[4] Suryomiharjo, abdurahman, Beberapa Segi Pekembangan Sejarah Pers di Indonesia. Jakarta : Kompas, 2002, hal, 47

[5] Op.Cit, Siregar, Ashadi, hal, 115
[6] Sarjono R Agus, Pembebasan Budaya-budaya Kita, (Jakarta : Gramedia Pustaka, 1999), hal, 148
[7] Sudibyo, Agus, “Absennya Pendekatan Ekonomi Politik untuk Studi Media dalam Komunikasi, Negara, dan Masyarakat., Nunung Prajarto (ed). Yogyakarta : Fisipol UGM, 2004, hal, 68

[8] Marpaung Tegar, Pers Indonesia Pasca reformasi (antara kebebasan , tantangan dan harapan),  (Yogyakarta : Media Pressindo, 2007), hal, 99
[9] Op.Cit, Teori Sosiologi Modern, hal, 580
[10] Baudrillard, Jean P, Masarakat Konsumsi. Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2004, hal, 204

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "MEDIA DAN ICON WATAK PERADABAN"

Post a Comment